Sunday, June 29, 2014

SEBUAH RENUNGAN UNTUK PENDIDIKAN KITA

Pagi itu Walid harus sekolah, jam dinding menunjukkan pukul 05.15 pagi. Ayahnya baru pulang dari masjid. Seperti biasa sang ayah selalu berusaha untuk membangunkan Walid supaya bisa berangkat sekolah. Walid mudah dibangunkan kalau dibujuk dengan makanan, tetapi kalau dibangunkan untuk berangkat sekolah dia pasti menolak. Sang ayah sudah tahu kebiasaan tersebut. Jadilah pagi itu segelas susu hangat menjadi senjata ayah untuk membangunkan Walid. Usaha ayah berhasil, Walid bangun dengan semangat untuk minum segelas susu, selanjutnya dia mudah dibujuk untuk mandi dan siap-siap berangkat sekolah.
Di kamar lainnya, sang kakak Rijal sedang bersiap untuk berangkat sekolah. Meskipun baru kelas satu SD, tas yang harus digendongnya sudah penuh sesak dengan buku. Jadilah tubuh kecil Rijal harus menanggung beratnya tas yang penuh seabrek buku. Belum lagi tentengan tempat bekal makan dan minum yang juga harus dibawa. Sang ayah menggeleng kepala, di usia yang masih kecil, anak-anaknya sudah harus menanggung beban pendidikan yang begitu berat. Sejak usia dini mereka sudah harus belajar membaca, menulis dan berhitung. Padahal sesungguhnya di usia mereka, saat bermain adalah masa yang indah. Sang ayah merenung mengingat kembali masa kecilnya, ketika seusia Walid dan Rijal dia bisa bermain sesukanya. Tidak harus dibebani dengan jadwal sekolah yang berat. Jaman dulu belum ada PAUD bahkan TK saja baru di kota-kota besar. Pendidikan formal pertamanya di bangku SD itupun tidak harus dengan membawa seabrek buku yang begitu berat. Pulang sekolah dia masih bisa main sepuasnya, tak seperti anak-anaknya yang setelah pulang masih dikejar PR.
Kondisi Walid dan Rijal masih lebih baik karena saudara-saudara mereka di tempat lain menghadapi beragam persoalan pelik. Sebagian dari mereka harus bertaruh nyawa untuk bisa sampai ke sekolah. Menyeberangi jembatan maut yang setiap saat bisa runtuh karena sudah tidak layak dilewati.
Sumber foto: antaranews.com
Di tempat lain, sebagian pelajar harap-harap cemas karena gedung sekolahnya sudah lapuk. Sambil belajar mereka juga harus memikirkan keselamatan dirinya jika sewaktu-waktu gedung sekolah mereka ambruk. Di jenjang pendidikan menengah, kita selalu mengelus dada ketika tawuran pelajar tidak kunjung selesai. Narkoba dan tindakan kriminalitas pelajar meningkat setiap tahunnya. Di level pendidikan tinggi juga setali tiga uang. Tawuran antar mahasiswa, plagiarisme dan pengangguran terdidik yang diproduksi tiap tahun seolah tidak ada ujung pangkalnya. Isu ujian nasional yang dikaitkan dengan system dan pemerataan pendidikan juga selalu mengemuka setiap tahun.
Persoalan pendidikan Indonesia mencakup sistem pendidikan, ketersediaan sarana prasarana, kemanfaatan pendidikan, kordinasi atar level pendidikan, dan sumber daya manusia. Tidak dipungkiri bahwa pendidikan adalah investasi masa depan sebuah bangsa. Jika salah urus maka eksistensi sebuah bangsa dipertaruhkan. Pada tulisan ini saya ingin membahas persoalan pendidikan dengan fokus pada dua hal yaitu: pendidikan karakter sejak dini dan pemerataan akses.
Pendidikan Karakter
Buat apa pinter kalau tidak jujur, buat apa berprestasi kalau kehilangan integritas, kenapa harus jenius kalau tidak bisa menghormati orang tuanya. Sia-sialah menuntut ilmu ke berbagai penjuru dunia, kalau tidak bisa mengabdi buat bangsanya. Semestinya bertambahnya ilmu membuat seseorang lebih baik karakternya. Bukan sebaliknya menjadi pribadi yang culas, oportunis, serakah, tamak, dan kehilangan rasa hormat terhadap sesama. Ini masalah pendidikan kita, bukan sekedar pintar tetapi juga mampu menjadi karakter yang baik, karena hakekat sesungguhnya dari pendidikan adalah karakter kemanusiaannya.
Pendidikan karakter sejak dini berarti memulai dari keluarga. Nilai-nilai yang melekat kuat dalam diri seseorang dibangun dari internalisasi dalam keluarga. Pada kenyataannya kondisi ini justru yang banyak dilupakan. Mereka memulai pendidikan justru dari lingkup formal. Orang tua menyerahkan anaknya sejak dini kepada orang lain atau institusi pendidikan yang terkadang tidak mengutamakan pendidikan karakter.
Sebagai contoh, sejak kecil anak dididik oleh pembantu karena orang tuanya sibuk bekerja. Di usia 3-5 tahun mereka dimaksukkan ke PAUD atau TK dengan harapan mendapatkan pendidikan formal yang baik. Di tingkat pendidikan yang semestinya mengedepankan penguatan karakter, justru anak dibebani dengan baca, tulis, hitung yang kemudian dijadikan sebagai ukuran keberhasilan pendidikan. Sehingga, ketika anak tidak mampu mengikuti standar pendidikan tersebut, orang tua merasa khawatir dan menganggap anak mereka tertinggal dari yang lain. Namun ketika anak menunjukkan karakter jujur, berani, peduli, berjiwa social tetap dianggap biasa hanya karena belum bisa baca, tulis dan hitung. Pintar dari aspek akademis tanpa dibarengi karakter kuat sejak dini justru berpotensi melahirkan kerusakan.
Setiap orang tua semestinya memahami kondisi ini sehingga mengambil peran penuh dalam pembentukan karakter putra-putrinya. Pendidikan formal hanya bersifat membantu dan memberikan bekal akademis, sementara pembentukan karakter yang kuat ada di keluarga dan lingkungan tempatnya tumbuh.
Untuk menunjang keberhasilan pendidikan karakter instrument pendidikan formal yang harus disiapkan dengan matang adalah sosok guru. Mereka yang menjadi guru haruslah sosok terbaik dari sisi prestasi akademik, karakter sebagai pendidik, motovasi dan metode dalam mendidik Karena guru adalah actor utama dalam keberhasilan pendidikan. Maka mereka haruslah sosok terbaik sehingga bisa menghasilkan generasi terbaik.
Pemerataan Kesempatan
Kita yakin kalau bangsa ini tidak kekurangan potensi sumber daya manusia. Di berbagai penjuru tanah air bertebaran anak bangsa yang hebat. Persoalanya bisakah mereka mendapat kesempatan merasakan pendidikan yang layak?fasilitas yang memadai?dan kesempatan untuk menunjukkan bahwa mereka bisa menjadi yang terbaik bagi bangsa ini?.
Tidak dipungkiri persoalan pemerataan kesempatan dalam mengakses pendidikan masih menjadi masalah bagi keberhasilan pendidikan kita. Mereka yang pintar dan bersemangat tidak bisa mengakses pendidikan karena masalah ekonomi, letak geografis, sampai ketiadaan sarana pendidikan di sekitarnya. Banyak sekali potensi bangsa yang memiliki kesempatan untuk maju dan berkembang. Sayangnya tidak semua memiliki kemampuan akses dan pendanaan untuk meningkatkan kompetensinya. Pemerintah sudah menggulirkan program wajib belajar gratis sampai dengan tingkat SMA ada juga dana BOS yang digunakan untuk membantu operasional sekolah. Meski demikian ternyata persoalan pendidikan yang disebabkan oleh factor ekonomi masih dominan.
Inilah tantangan dunia pendidikan kita. Pertama bagaimana membentuk karakter peserta didik dengan baik dan kedua memastikan setiap potensi bangsa bisa mengakses pendidikan yang layak.