Sunday, September 29, 2013

Dilema ujian Skripsi

Hari ini seorang mahasiswa sedang mempresentasikan skripsinya, dia mencoba mengutarakan segenap penelitian yang telah dilakukan. Mulai dari latar belakang, masalah, tujuan, hasil dan pembahasan sampai kemudian tahap kesimpulan. Semua proses nampaknya akan berjalan dengan lancar, sampai kemudian datanglah sebuah kerikil kecil yang terpaksa terinjak dan mengganggu prosees ujian skripsi hari ini.

Setelah di cek lembar acara ujian dan tentu saja kelengkapan lainnya, mulailah terkuak beberapa keganjilan diantaranya:
1. Dia salah menempatkan dosen penguji dan pembimbing sesuai dengan mekanisme yang benar, artinya seorang dosen yang seharusnya menjadi pembimbingnya justru ditempatkan sebagai penguji. Untunglah si Dosen tidak berberat hati dan memaafkan kesalahan mahasiswa ini. Coba kalau tidak berbesar hati dan menuntut sesuai haknya, bisa jadi ujian skripsi hari ini batal karena kesalahan tersebut.
2. Hampir dari awal sampai akhir terdapat banyak sekali kesalahan pengetikan, sebuah kesalahan yang sudah dibenarkan oleh pembimbingnya tapi tetap tidak diperbaiki. Muncullah sebuah anggapan dari para pembimbingnya kalau mahasiswa ini tidak sungguh-sungguh untuk memperbaiki skripsinya sesuai masukan pembimbing.
3. Bagi saya munculah dilema, apakah harus diteruskan ujian ini atau diluluskan atau sebaliknya si Mahasiswa ini disuruh memperbaiki skripsinya baru kemudian dijadwalkan ujian ulang. Dilema muncul mengingat tenggat waktu wisuda sudah dekat, dan dia termasuk mahasiswa angkatan lama yang harus segera lulus. jadilah sebagai manusia muncul perasaan iba, kasihan kemudia berusaha mencari beragam alasan logis agar mahasiswa ini tetap bisa ujian.
4. Secara pribadi saya menilai skripsi, tesis, atau disertasi seklaipun bukanlah akhir dari sebuah proses belajar di setiap jenjangnya. Sama seperti yang lain, ini tetaplah proses belajar yang terkadang baru awal dari proses keseluruhan belajar. Ada mahasiswa yang baru belajar berfikir logis, menulis ilmiah dan seabrek teori justru ketika dia mulai menulis skripsi.

Kalau dinilai sebagai awal atau proses belajar maka sejatinya kesalahan adalah kewajaran, yang penting ada kemauan untuk terus belajar, dan kelak menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama manusia.

Tuesday, September 24, 2013

PERS MAHASISWA, BANGUNLAH !

Seiring bergulirnya roda reformasi, kran kebebasan pers pun dibuka lebar. Kehidupan pers yang sempat mengalami masa-masa sulit di jaman orde baru menjadi begitu bebas seiring runtuhnya rezim berkuasa. Arti kebebasan pers itu sendiri tentu saja bukan sekedar untuk kepentingan awak media tetapi lebih dari itu merupakan pemenuhan hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Dengan kehidupan pers yang bebas berarti kebutuhan masyarakat akan informasi yang lengkap, benar dan terpercaya dapat terpenuhi.

Pada masa lampau dimana kehidupan pers diibaratkan dalam kondisi yang tiarap, hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang lengkap sangatlah sulit diwujudkan. Ada semacam ketakutan dari pengelola pers karena begitu represifnya pemerintah dimasa itu, sehingga pers yang tidak berpihak terhadap kepentingan penguasa akan hilang dari peredaran.. Keadaan demikian membuat pers dihadapkan pada situasi yang dilematis. Di satu pihak pers diidealkan sebagai alat kontrol sosial dan saluran hati nurani rakyat, tetapi disisi lain pers adalah suatu lembaga industri yang berusaha untuk tetap survive sehingga pers juga harus menjaga kelangsungan hidupnya dengan mematuhi aturan penguasa pada saat itu.
Ketakutan pers dimasa itu adalah suatu yang wajar, tetapi takut bukan berarti takluk. Seorang wartawan senior Goenawan Muhamad menggambarkan kondisi tersebut dengan pernyataanya “untuk membedakan pers yang baik dan buruk ukurannya adalah antara mereka yang takut dan mereka yang takluk”. Pers yang bebas bisa merasa takut melayani publik, mereka bisa saja terpaksa berbohong. Seorang yang paling pemberanipun memiliki rasa takut karena ia tetaplah manusia. Ketakutan adalah manusiawi yang wajar, mereka takut sehingga tidak bisa memberitakan dengan bebas. Ini tentu saja berbeda dengan mereka yang takluk dan menyerah. Mereka tunduk dan membiarkan kekeliruan dan kejahatan yang terjadi di sekitarnya.
Secara ideal pers seyogyanya objektif dalam artian berita yang diturunkan merupakan cerminan dari realitas empiris. Namun kondisi dilematis yang dihadapi pers dimasa lampau seringkali membuat mereka dihadapkan pada kondisi yang serba salah. Disatu sisi mereka memiliki tanggungjawab moral untuk memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi sedangkan disisi lain ada penguasa yang siap menghancurkan eksistensi pers jika tidak sesuai kebijakan yang telah ditetapkan. Pada kondisi seperti ini seringkali timbul distorsi informasi baik yang bersifat systemic distortion maupun random distortian. Systemic distortion biasanya terjadi melalui pembiasan informasi yang disengaja. Sementara random distortion terjadi melalui kecerobohan atau ketidaktahuan dari pengelola media.
Berbagai kiat yang ditempuh pengelola pers ketika itu semata-mata dilandasi keinginan agar masyarakat tetap bisa mengakses informasi meskipun terbatas. Artinya jika pers memaksakan berhadapan secara frontal dengan penguasa maka pembredelan tidak bisa dihindari. Dalam kondisi seperti ini tentu akibatnya lebih buruk karena masyarakat sama sekali tidak memperoleh informasi. Oleh karena itu meskipun informasi yang diperoleh masyarakat terbatas itu masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Kita bisa membaca dari sejarah perjalanan pers di Indonesia bagaimana penguasa orde baru pada saat itu bisa membubarkan sebuah industri pers apabila pemberitaanya tidak sesuai dengan kepentingan mereka.
Beberapa contoh kasus pembredelan pers dimasa orde baru diantaranya kasus pembredelan yang dialami oleh majalah TEMPO, Editor dan Tabloid Detik pada 21 Juni 1974. Cukup singkat waktu yang diperlukan oleh Menteri Penerangan ketika itu untuk membatalkan SIUPP ketiga media tersebut. Alasannya, majalah Editor dan Tabloid Detik dinilai sudah melakukan kesalahan administratif, sedangkan majalah TEMPO dianggap memberitakan hal-hal yang melanggar dan membahayakan stabilitas nasional. TEMPO dibredel karena keberanianya mengusik masalah pembelian 39 kapal perang eks Jerman Timur.
Pada masa reformasi sekarang ini dimana kebebasan pers mendapat perlindungan hukum yang lebih baik mestinya bayang-bayang ketakutan terhadap pembredelan yang dilakukan pihak penguasa tidak ada lagi. Pada saat ini sebenarnya independensi dan profesional pers diuji. Periode kritis seperti sekarang ini adalah alat yang paling tepat untuk mengukur kredibilitas dan integritas pers. Mereka harus memilih dan pilihan itulah yang menunjukkan kredibilitas mereka.
Pers Mahasiswa
Ditengah maraknya kehidupan pers nasional seiring perkembangan kebebasan memperoleh informasi, kehidupan pers kampus justru menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Pertumbuhan pers nasional yang demikian pesat seiring bergulirnya kran kebebasan pers ternyata tidak terjadi dalam kehidupan pers kampus. Kondisi yang ada justru menunjukkan keadaan sebaliknya. Banyak pers mahasiswa yang eksistensinya semakin tidak jelas. Ibarat pepatah hidup segan mati tak mau. Secara de jure mereka ada tetapi secara de facto kiprahnya sama sekali tidak nampak. Bahkan tidak sedikit yang sudah gulung tikar atau tinggal nama sehingga keberadaannya seolah sebatas pelengkap dari dinamika kehidupan intelektual civitas akademikanya.
Kondisi pers mahasiswa yang demikian itu setidaknya disebabkan oleh beberapa hal yaitu, pertama masalah pendanaan. Sebagian besar pers mahasiswa menggantungkan sumber pendanaan dari subsidi kampus. Semua kebutuhan untuk terbitnya media kampus mulai dari reportase berita sampai cetak diperoleh dari dana subsidi ini. Keadaan seperti ini membuat kehidupan pers mahasiswa tidak sehat. Jika sewaktu-waktu pihak kampus menghentikan subsidinya maka dengan sendirinya keberadaan pers itu akan mati. Selain itu kondisi semacam ini juga mengakibatkan pers mahasiswa seringkali kehilangan nyali ketika harus mengkritisi berbagai kebijakan kampus. Fungsi pers sebagai sarana kontrol kehidupan kampus dan sarana kontrol sosial menjadi tidak nampak sama sekali. Keberadaan pers mahasiswa pun tak lebih sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan kampus. Untuk itu sudah semestinya dirumuskan suatu konsep yang memungkinkan pers kampus bisa mandiri.
Permasalahan kedua adalah konsistensi dari pengelola pers mahasiswa itu sendiri. Konsistensi disini meliputi rutinitas penerbitan dan juga substansi isi. Banyak pengelola pers mahasiswa yang terkesan asal-asalan dalam menjalankan aktifitasnya. Sebagai contoh pers mahasiswa terbitan bulanan yang semestinya secara konsisten hadir tiap bulan bisa hadir dua bulan sekali atau malah tidak pasti kapan terbitnya. Lebih parah lagi seringkali kandungan isinya tidak sesuai dengan fungsinya sebagai saluran aspirasi mahasiswa. Keadaan seperti ini mengakibatkan pers mahasiswa tidak diminati. Mahasiwa sendiri pada akhirnya menjadi enggan untuk mengkonsumsinya, sehingga lambat laun pers mahasiswa lenyap dari peredaran karena ditinggal pembacanya. Untuk mengatasi kondisi ini para pengelola pers mahasiswa semestinya memperhatikan betul-betul pola rekrutmen pengurusnya. Pola rekrutmen terarah disertai pendidikan dan pelatihan jurnalistik yang cukup akan menghasilkan sumber daya manusia yang bisa diandalkan. Keberadaan SDM yang tangguh merupakan modal penting bagi kelangsungan pers mahasiswa.
Ketiga, banyak pers mahasiswa yang terjebak dalam lokalitas area kampus sehingga menjadi pers yang tertutup. Mereka kehilangan kepekaan dalam menangkap berbagai peristiwa di luar kampus sehingga apa yang mereka sajikan kehilangan rohnya. Pers mahasiswa yang semestinya bisa kritis dalam menyikapi berbagai peristiwa di sekelilingya menjadi tumpul karena terjebak dalam lokalitas kampus. Ada semacam keengganan untuk melihat lebih dalam apa yang terjadi di luar sana. Kondisi seperti ini tentunyatidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Melihat kondisi kehidupan pers mahasiswa yang demikian maka sudah saatnya dilakukan berbagai perubahan menuju kondisi lebih baik. Ditengah suasana kebebasan memperoleh informasi semestinya pers mahasiswa bangun dan menjadi bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Saatnya mengahiri tidur panjang dan menyingsingkan lengan baju guna kemajuan bangsa ini. Sumbangsih dunia kampus sebagai perwujudan pengabdian kepada masyarakat bisa dilakukan dari sini. Perjalanan reformasi bangsa kita yang dicetuskan pada tahun 98 lalu masih terengah-engah dan membutuhkan sosok-sosok penuh kepedulian untuk mengembalikan kondisi bangsa ini yang sudah terlanjur bobrok.

Wednesday, September 18, 2013

Media Decenter

Kecelakaan maut yang menewaskan sembilan orang terjadi pada hari Minggu 22 Januari 2012. Kecelakaan berlangsung, minggu siang, ketika rombongan orang yang baru kelar berolah raga di Monas, tiba-tiba ditabrak mobil yang dikendarai Apriyani Susanti. Saksi mata menuturkan, mobil yang dikendaraai perempuan bertubuh besar itu melaju kencang dari arah Monas[1].
Sopir Daihatsu Xenia hitam bernomor polisi B 2479 XI yang menabrak delapan pejalan kaki di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat, berinisial AS, wanita berusia 29 tahun. Saat diperiksa, AS tak bisa memperlihatkan Surat Izin Mengemudi dan hanya memperlihatkan STNK atas nama orang lain. Polisi masih mendalami penyebab kecelakaan. Saksi mata di lokasi, Suwarto (40), menduga sopir mabuk saat mengendarai kendaraan. Namun Kasat Lantas Polres Jakpus Komisaris Gimo Husodo memperkirakan penyebab kecelakaan adalah rem mobil yang tak berfungsi dengan baik[2].
Berita kecelakaan maut yang terjadi di Jakarta tersebut segera menyedot perhatian jutaan orang di seluruh Indonesia. Beragam komentar, analisa, ide, masukan, cacian dan luapan emosi lainnya memenuhi ruang maya di berbagai kanal. Lokasi kecelakaan yang terjadi di Jakarta membuat magnitude peristiwanya semakin besar. Lokasi ibu kota negara memudahkan penyebaran informasi. Dunia yang terbentang dalam jutaan kilometer jarak di darat dan laut bukanlah penghalang untuk mengetahui peristiwa terkini yang terjadi di berbagai tempat. Perkembangan teknologi di bidang komunikasi membuat penyebaran informasi semakin cepat, mudah dan menjangkau berbagai belahan dunia. Kondisi tersebut menjadi menarik untuk melihat bagaimana kekuatan determinisme teknologi dan posisi media massa yang selama ini dianggap sebagai sumber informasi yang paling banyak diakses. Tulisan ini bermaksud untuk mengkaji teori determinisme teknologi dan posisi media decenter pada kasus pemberitaan kecelakaan maut di Tugu Tani Jakarta.



[1] Diakses dari metrotvnews.com,pada  24/1/2012/09.50
[2] Diakses dari berita.liputan6.com pada 24/1/2012/10.00

Monday, September 9, 2013

Magnet popularitas

Sekelompok siswa SMA 9 dan SMK 2 di Kendari ditipu oleh Event Organizer (EO) gadungan yang berjanji mengorbitkan mereka menjadi artis. Sabuga Entertainment menyodorkan proposal kontes model ke sekolah. Penampilan mereka yang meyakinkan membuat pihak sekolah mudah tertipu dan mengijinkan mereka untuk melaksanakan kontes tersebut. Penipuan terbuka ketika para siswa yang disuruh datang ke hotel untuk make up diharuskan mengumpulkan perhiasan, hp, bahkan motor. Tak disangka kemudian semua harta tersebut dibawa kabur oleh pihak EO.
Peristiwa seperti ini sering terjadi sekaligus menggambarkan bagaimana jerat popularitas mampu menghapuskan rasionalitas berfikir manusia. Dalam teori komunikasi kemampuan seseorang mempermaikan titik kelemahan manusia membuat mereka mudah untuk dibodohi. Jerat budaya popular yang member iming-iming materi, ketenaran, popularitas, pujian membuat manusia rela melakukan apa saja untuk tampil di jagat hiburan.


Lihatlah bagaiamana kontes popularitas seperti nyanyian,ustadz-ustadzan, tarian, putrid-putrian atau model lainnya selalu laris manis diikuti oleh para pemimpi tersebut. Menjadi popular dalam jagat hiburan telah menjadi magnet kuat yang menarik beragam kalangan. Kontes resmi atau bahkan penipuan palsu pun akan dibanjiri peminat.

Friday, September 6, 2013

Dedicated for Mbah Kiyah

Di dunia yang sudah serba materialistic ini katanya semua harus disertai uang. Misalnya, ngurus perijinan, atau surat-saurat penting, masuk sekolah, mencari kerja, semua harus disertai “pelicin biar cepet. Atau ujung-ujungnya duit lah yang berbicara. Bahasa sarkasmenya, bahkan kita buang hajat aja harus bayar. Tidak ada yang gratis, karena manusia sudah menjadi “homo economicus”.
Namun, sebuah pengalaman di masa kuliah membuka mata saya, kalau tidak semua al di dunia ini bisa diselesaikan dengan uang. Ada nilai-nilai kepercayaan, persahabatan, kepedulian yang masih mewakili nurani manusia.
Di masa kuliah lalu, saya tinggal di sebuah kos sederhana di JL. TImoho Raya 276 Tembalang Semarang. Singkat kata kos itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan wisma 276. Walaupun namanya wisma jangan dibayangkan kalau bentuknya mewah. Wisma 276 adalah sebuah rumah sederhana yang masih terbuat dari kayu, lantainya pun masih berupa tanah. Hanya di kamar-kamar yang digunakan sebagai tempat kos, sudah di semen bawahnya.
Rumah ini milik Simbah Karjan dan Sukiyah, sepasang kakek-nenek yang romantic dan baik hati. Kami tinggal di kos tersebut bukan karena tidak ada tempat lain yang lebih bagus tetapi karena hanya di tempat Mbah Kiyah itulah, kos termurah dan bisa “ngutang”. Banyak teman-teman kos saya yang tidak mampu membayar kos meminta ijin kepada Mbah Kiyah untuk “ngutang bayar kos”. Mereka baru membayar biaya kos setelah lulus dan mendapat pekerjaan. Ada yang sampai 2 bahkan 3 tahun tidak membayar kos. Baru mereka membayar kos setelah lulus dan bekerja.
Habis lebaran kemarin saya sempat silaturahmi ke rumah Mbah Kiyah, sekarang sudah berubah menjadi bangunan permanen dua lantai. Bagian bawah disewakan untuk usaha salon sedangkan di lantai atas digunakan untuk café. Hilanglah sudah harapan untuk mengenang kembali wisma 276 yang telah melahirkan banyak kenangan, dan persahabatan. Hilanglah tempat mulia yang telah membantu mewujudkan cita-cita banyak penghuninya. Anak-anaknya lebih menyukai jika tempat orang tuanya berubah menjadi ladang usaha yang menjanjikan, daripada menjadi ladang amal untuk membantu mahasiswa yang tidak mampu. Saya tidak menyalahkan anak-anaknya, hanya saja senyum mbah Kiyah yang selalu kami lihat setiap kali membantu mahasiswa hilanglah sudah. Dia tinggal di sebuah kamar, di salah satu rumah anaknyanya. Kehilangan kuasa atas kesenangan dan kesempatanya membantu orang lain.
Jum’at 23 agustus 2013 beliau menghembuskan nafas terakhir. Meninggalkan beribu kebaikan yang akan selalu kami kenang. Semoga amal dan kebaikannya membawa kemudahan langkahnya untuk menggapai surga.

Sunday, September 1, 2013

Usaha Rakyat

Perekonomian Indonesia menjadi salah satu yang paling stabil di dunia.  Hal ini didukung oleh tingkat konsumsi domestik yang besar. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi positif 6,5% dan termasuk dalam negara yang diperhitungkan perkembangan ekonominya. Pasca krisis global tahun 2008, kondisi ekonomi mulai membaik. Pemerintah bersama Bank Sentral senantiasa konsisten berusaha meredam inflasi, menurunkan suku bunga acuan, dan merealisasikan berbagai paket stimulus ekonomi untuk mendorong pergerakan ekonomi ke arah positif. .
Pemerintah secara serius mengembangkan berbagai program untuk meningkatkan potensi usaha kecil dan menengah agar mampu tampil sebagai soko guru ekonomi bangsa. Sektor ini terbukti ampuh sebagai pondasi ekonomi nasional. Di masa krisis tahun 1998 lalu misalnya, sektor UKM tampil sebagai solusi mengatasi gejolak ekonomi dengan menyerap ribuan pengangguran akibat PHK masal. Data Kementerian Koperasi dan UKM memperkirakan sampai tahun 2012 jumlah UKM di Indonesia sebesar 56,5 juta unit. Perkembangan jumlah UKM dengan sendiri menambah jumlah lapangan pekerjaan bagi rakyat.
Salah satu program pro rakyat yang digulirkan oleh pemerintah adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kredit ini diberikan kepada pelaku UMKM yang mempunyai usaha minimal berjalan enam bulan. Layak atau tidaknya pelaku UMKM memperoleh KUR adalah wewenang pihak perbankan setelah dilakukan survei ke lokasi usaha. Jika dari hasil survei dan analisa usaha tersebut memiliki prospek yang bagus, maka pihak perbankan memberikan KUR. Adapun proses pencairan KUR adalah  3 – 5 hari kerja. Selain kelayakan usaha, persyaratan memperoleh KUR adalah melampirkan KTP, KK, foto, dan surat keterangan usaha[1].
Semenjak digulirkan pada tahun 2007 KUR telah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Data realisasi dan target penyaluran menunjukkan kondisi tersebut. Pemerintah menargetkan penyaluran Kredit usaha Rakyat (KUR) tahun 2012 sebesar Rp30 triliun, realisasinya sebesar Rp34 triliun. Hal ini menunjukkan antusiasme masyarakat menyambut program KUR. Karena itu  target penyaluran KUR pada tahun 2013 dinaikkan menjadi Rp36 triliun naik Rp2 triliun atau 5,8% dari tahun sebelumnya[2].
Perkembangan penyaluran KUR memang menunjukkan kondisi yang menggembirakan. Meski demikian tidak menutup mata jika program ini masih terhambat beberapa hal. Upaya meningkatkan akses masyarakat terhadap KUR setidaknya masih terganjal oleh beberapa hal diantaranya: pertama, sebagian pelaku usaha kecil enggan berurusan dengan Bank karena anggapan prosedur sulit, lama, dan bunga yang membebani. Ada juga yang salah jalan karena kurangnya informasi sehingga justru terjerat rentenir. Kedua, persyaratan kelayakan usaha, seperti prospek dan lama usaha yang minimal sudah enam bulan. Dengan sendirinya hanya usaha yang sudah berjalan yang bisa menikmati KUR. Ketiga, persyaratan agunan yang masih dibebankan kepada peminjam. Kelima, kurang jelasnya mekanisme yang bisa digunakan untuk membantu pengusaha yang baru memulai. Artinya bagi seorang yang baru memiliki niat untuk membuka usaha, belum jelas keberhasilan usahanya kemana harus meminta bantuan modal. Persoalan ini sebenarnya juga harus diperhatikan dengan serius. Banyak calon pengusaha muda yang mengurungkan niatnya karena kesulitan mendapat bantuan permodalan untuk memulai usahanya. Minim pengalaman dan belum jelasnya prospek usaha membuat sektor perbankan sering enggan mengucurkan modal.
Bagi hasil keuntungan
Selama ini yang digunakan dalam penyaluran KUR adalah skema bunga, dimana peminjam wajib membayar bunga sesuai dengan kesepakatan. Pemerintah menetapkan bunga KUR (Kredit Usaha Rakyat) tahun 2013 flat 0,57 persen untuk sektor retail sedangkan untuk mikro sebesar 0,95 persen.
Untuk memberi kesempatan lebih banyak kepada masyarakat dalam mengakses program KUR, diperlukan skema alternatif selain bunga pinjaman. Salah satu sistem yang bisa digunakan adalah bagi hasil. Sistem bagi hasil sejatinya adalah suatu kerja sama antara dua pihak dalam menjalankan usaha. Pihak pertama yaitu pengusaha yang memberikan andil dalam keahlian, keterampilan, sarana dan waktu untuk mengelola usaha tersebut. Sedangkan pihak kedua yaitu pemodal (investor) yang memiliki andil dalam mendanai usaha itu agar dapat berjalan. Baik itu modal kerja saja atau modal secara keseluruhan. Atas masing-masing andil itulah, kedua belah pihak berhak atas hasil usaha yang mereka kerjakan. Karena tidak ada yang dapat memastikan, berapa keuntungannya. Maka pembagian hasil usaha itu ditetapkan dalam bentuk prosenstase bagi hasil dari keuntungan yang didapat, bukan atas besarnya dana yang diinvestasikan[3].
Apabila usaha berhasil dan mendapat keuntungan, itulah yang dibagi antara peminjam dan pemberi pinjaman. Skema ini bisa dijadikan alternatif untuk merangsang rakyat agar berani membuka usaha. Selama ini masih muncul kekhawatiran dibenak masyarakat yang mau membuka usaha dan meminjam permodalan ke bank. Selalu muncul pertanyaan bagaimana kalau usaha saya rugi, bagaimana saya mengembalikan pinjaman dan bunga. Hal ini terjadi karena bunga pinjaman modal sudah ditentukan di depan.
Bagi pelaku usaha yang sudah berjalan, besarnya bunga KUR sejatinya tidak membebani. Bahkan nilainya jauh lebih kecil dari besaran bunga pinjaman lainya atau besaran bunga rentenir yang selama ini menjerat masyarakat. Meski demikian bagi pelaku usaha yang baru memulai, istilah bunga sering memberikan tekanan psikologis ketika mau meminjam modal.
Untuk merealisasikan sistem bagi hasil ini perlu diawali dengan pemahaman bersama antara pihak pemerintah, perbankan dan peminjam. Artinya secara sadar sistem ini dipahami bersama dan kemudian menjadi pilihan yang dibuat secara sadar oleh peminjam. Beberapa pertanyaan yang mungkin muncul dari sistem ini misalnya: berapa bagi hasil keuntungan, berapa bagi tanggung kerugian yang muncul dari usaha, siapa yang berhak mendapat program ini, siapa yang bertugas untuk memberikan pendampingan kepada pelaku usaha agar menjalankan manajemen usaha dengan professional dan jujur. Hal ini penting untuk menghindari sikap-sikap tidak bertanggungjawab dari peminjam. Misalnya melarikan diri, tidak sungguh-sungguh menjalankan usahanya, tidak melakukan pembukuan dan potensi ketidakprofesionalan lainnya.
Sebagai contoh bagi hasil keuntungan dan kerugian adalah 5%. Jadi jika usaha yang dimodali berhasil dan menghasilkan keuntungan maka pihak pemberi pinjaman berhak mendapat keuntungan sebesar 5%. Apabila usaha gagal dan mengalami kerugian perlu dipikirkan apakah peminjam tetap mengembalikan pinjaman pokok secara utuh. Atau dia menanggung kerugian sebesar prosentase kesepakatan bagi tanggung kerugian dan sisanya pihak bank ikut menanggung sesuai besaran prosentase kesepakatan bagi hasil.
Skema ini mungkin tidak menarik bagi perbankan, tetapi sesungguhnya skema ini lebih menunjukkan rasa keadilan dan kesungguhan untuk membantu sector UKM. Sistem bagi hasil berarti berbagai resiko, tanggungjawab, berbagi pendampingan, dan berbagi kerja bersama. Selama ini muncul kesan, pihak bank tidak mau mengambil resiko dan hanya membantu usaha yang sudah berjalan. Dengan adanya kemungkinan berbagi kerugian, maka bank juga akan bersungguh-sungguh untuk mendampingi UKM dan membina mereka. Untuk menjaga profesionalitas maka perlu pendampingan agar usaha tidak berpotensi rugi. Perbankan memiliki pengalaman dalam mengelola keuangan sehingga bisa diajarkan kepada pelaku usaha agar dapat mengelola keuangan mereka.
Pendampingan dan pembinaan dari pihak bank diyakini akan meningkatkan potensi keuntungan dari sebuah usaha. Selama ini muncul kesan bahwa UKM diberikan modal kemudian dibiarkan untuk memulai dan menjalankan usaha, kemudian mereka mengembalikan pinjaman dan bunga. Skema bagi hasil membuat pembagian tanggungjawab antara peminjam dan bank berjalan seimbang. Keadaan ini membuat perkembangan usaha akan lebih progresif.

Lebih dari sekedar sistem

Untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap program KUR maka diperlukan peningkatan jumlah pengusaha secara signifikan. Semakin banyak jumlah pengusaha maka semakin cepat percepatan pengentasan kemiskinan. Untuk itu keberadaan program pro rakyat seperti KUR perlu diimbangi dengan peningkatan kemauan masyarakat untuk membuka usaha.
Persoalan terbesar adalah mental rakyat Indonesia yang tidak berani untuk membuka usaha. Lihatlah antrian pelamar untuk menjadi PNS yang selalu mencapai ribuan orang. Sementara seminar kewirausahaan, atau pelatihan untuk menjadi pengusaha tidak disambut dengan antusias. Ini juga tidak lepas dari persoalan pendidikan di keluarga dan di rumah yang tidak menanamkan mental wirausaha. ketersediaan modal jadi tidak maksimal gunanya kalau masyarakat tidak berani membuka usaha. Untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap program KUR artinya harus meningkatkan jumlah pengusaha. Ini membutuhkan usaha keras untuk memotivasi rakyat agar mau menjadi pengusaha. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan sektor jasa yang besar, namun rakyatnya lebih memilih jadi pekerja daripada mengolahnya. Lebih memilih menunggu perusahaan asing mengekslporasi kekayaan alam dan melamar pekerjaan kepada mereka. Persoalan mental ini harus segera dirubah. Mentalitas pekerja yang tertancap kuat dibenak sebagian besar generasi muda bangsa ini harus dirubah. Untuk memulai perubahan tersebut keluarga adalah wadah yang tepat. Nilai-nilai yang ditanamkan di keluarga akan terus diingat dan menjadi rujukan nilai-nilai hidup seseorang. Memori ini terus terbawa sampai besar sehingga mempengaruhi mental.