Tuesday, November 8, 2016

Pentingnya Pendidikan Anti-Korupsi



Praktek korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Lebih parahnya korupsi sudah menjadi budaya di kalangan masyarakat. Di setiap level masyarakat praktek-praktek korupsi terjadi. Budaya korupsi direproduksi terus menerus sehingga terinternalisasi dalam jiwa bangsa ini. Karena itu dibutuhkan sebuah proses pendidikan yang mampu melakukan dekonstruksi budaya tersebut. Salah satunya dengan menggali nilai-nilai kearifan local berbasis budaya bangsa ini. Budaya Jawa menjadi salah satu acuan dengan beragam ajaran luhur di dalamnya. Peribahasa Becik Ketitik Olo Ketoro mengandung nilai-nilai luhur yang mendalam dan bisa dijadikan sebagai bagian dari pendidikan anti korupsi. Tentu saja implementasinya membutuhkan kerjasama, sinergi dan kemauan kuat dari sekolah, guru, orang tua dan segenap elemen masyarakat.
Korupsi sudah menjadi penyakit kronis yang pelan tapi pasti menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Kehadiran lembaga pemberantasan korupsi ternyata belum mampu memutus lingkaran setan praktek perampokan uang rakyat ini. Kemudian muncul pesimisme di kalangan masyarakat, mungkinkah korupsi bisa diberantas dari kehidupan bangsa ini?darimana harus diawali untuk memutus lingkaran setan korupsi?konsep apa yang perlu diterapkan agar budaya anti korupsi tertanam di jiwa masyarakat kita sehingga bisa membentengi dari godaan korupsi?.

Pendidikan Anti Korupsi 
Selain keburukan system dan lemahnya pengawasan, ternyata korupsi juga disebabkan telah mendarahdagingnya budaya ini di tengah masyakat kita. Budaya korupsi diinternalisasi di berbagai tempat dengan beragam jalan. Lambat laun budaya ini menjadi watak yang mencerminkan perilaku. Di berbagai level kehidupan masyakat entah di keluarga, sampai satuan terbesar yakni negara, korupsi telah membudaya. Untuk melihat bagaimana proses internalisasi budaya korupsi mari kita cermati ilustrasi berikut:

Terjadi perbincangan yang menarik dalam sebuah keluarga[i].
Ayah: Bu tadi saya kena tilang, dari pada repot dengan urusan persidangan maka saya kasih saja pak polisi uang
Ibu: gak pa-pa pak, sidang juga mbayar. Tadi ibu juga perpanjang KTP pak, katanya satu bulan baru jadi, padahal ibu perlu KTP untuk buka rekening Bank, jadi tadi ibu kasih uang petugasnya biar cepet jadi.
Adik: Kok ayah dan ibu kasih uang ke orang sih, buat adik aja to
Ibu: bukan ngasih uang dik, tapi kalau ngurus surat2 biar cepet memang harus begitu
Adik: Ooo gitu to, kalau ngurus surat2 biar cepet harus pakai duit 

Budaya korupsi ditanamkan melalui pendidikan formal maupun informal yang terjadi di ruang-ruang kelas, di jalan, rumah, instansi pemerintahan, dan lingkungan masyarakat lainnya. Di ruang-ruang kelas, siswa sering diajari bagaimana korupsi waktu, nilai dan kecurangan lainnya untuk mencapai target-target pendidikan formal yang sudah dicanangkan.
Guru dan siswa terlambat masuk kelas dianggap sebagai suatu kelaziman biasa. Untuk mencapai target kelulusan sekolah sering menggunakan segala cara baik yang dilakukan oleh siswa maupun sekolah. Kecurangan pada proses ujian nasional bukan lagi sebbuah aib melainkan budaya yang terus-menerus dipelihara. Budidaya korupsi di Indonesia ternyata lahir dari kuatnya budaya korupsi dalam masyarakat kita. Di berbagai bidang dan tingkat sosial, korupsi terjadi secara masif. Cara-cara korup seperti mengakali proyek, menyuap, nyogok, upeti, nilep uang dan sejenisnya sudah dianggap sebagai kewajaran. Budaya korupsi ini di internalisasi di berbagai lingkungan mulai dari keluarga, jalanan, sekolah, RT, RW, kampus, rumah sakit dan berbagai layanan publik lainnya. Kita diajari, diberi peluang, ditawari untuk mencapai tujuan dengan prosedur yang tidak benar. Di sekolah misalnya, banyak sekolah menghalalkan segala cara agar semua siswanya lulus ujian nasional. Orang tua rela nyogok agar anaknya diterima di sekolah atau kampus favorit. Para siswa agar lulus ujian memilih membeli kunci jawaban daripada susah-susah belajar giat. Secara tidak langsung system ini kemudian mendarahdaging pada diri setiap siswa dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Di jalan raya proses pembalajaran korupsi juga dipertontonkan secara terbuka ketika tawar-menawar denda tilang pelanggaran lalu lintas dilakukan. Di rumah orang tua menunjukkan bagaimana caranya mencapai tujuan dengan pintas tampa menempuh proses yang benar. Dalam kondisi seperti ini apa yang bisa dilakukan agar mata rantai budaya korupsi bisa dihentikan?. Model pendidikan seperti apakah yang perlu dikembangkan untuk mendukung proses pemberantasan korupsi?. 
Pendidikan didefiniskan dalam beragam bentuk, cara dan tujuan. Menurut UU no. 20 tahun 2003 pendidikan disebut sebagai: Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasan belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memilki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa & negara. (ps.1).
Definisi tersebut menggambarkan bagaimana pendidikan sejatinya merupakan upaya untuk membentuk karakter baik manusia sehingga mampu berperan positif bagi diri, masyarakat, bangsa dan negaranya. Keberhasilan pendidikan bukanlah angka-angka ajaib kelulusan melainkan sejauh mana peserta didik tersebut memiliki kualitas paripurna dalam kendali spiritual, sehingga mampu memadukan keerdasan akal dengan kemuliaan akhlak ketika menghadapi suatu masalah.
Artinya pendidikan tidak dimaksudkan untuk menjadikan pribadi instan atau mengkarbit manusia menjadi sosok tertentu dengan ukuran keberhasilan ragawi semata. Fenomena budaya korupsi yang terjadi pada bangsa ini menunjukkan bahwa pendidikan belum mampu menghasilkan pribadi manusia yang utuh secara spiritual dan fisik. Kalau kita cermati, pelaku korupsi justru mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi.
Fenomena tersebut tentunya tidak bisa dilepaskan dari budaya menerabas yang seolah sudah begitu kuat menancap dalam kepribadian bangsa ini. Prof. Koentjaraningrat menyebutkan lima sifat mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan. Salah satunya sifat mentalitas yang suka menerabas. Menerabas artinya mengabaikan proses dan mementingkan hasil. Mentalitas menerabas berarti meremehkan mutu ketika mengharapkan keunggulan hasil dan mengacuhkan kualitas proses. Manusia lebih memilih jalan yang paling mudah dalam melakukan sesuatu tanpa melalui proses yang benar. Budaya menerabas menjadi akar pembenaran praktek korupsi.
Proses tersebut melalui tahapan konstruksi realitas yang dialami oleh bangsa ini. Dalam pandangan Berger proses tersebut melalui tiga tahapan. Pertama, ekternalisasi yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Kedua, objektivasi yaitu hasil yang telah dicapai baik secara mental maupun fisik dari eksternalisasi yang telah dilakukan manusia. Eksternalisasi menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi manusia itu sendiri. Ketiga, internalisasi yaitu proses penyerapan kembali dunia objektif kedalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia social (Eriyanto,2002:13). Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat .

Salah satu yang patut digali sebagai rujukan pendidikan karakter bangsa ini adalah luhurnya nilai-nilai budaya Jawa. Beragam pepatah, ular-ular, nasehat, wejangan dan kesahajaan budaya Jawa bisa menjadi sumber pendidikan yang tidak terhingga. Salah satunya adalah peribahasa Jawa yang berbunyi: Becik ketitik olo ketoro.  Peribahasa Becik ketitik olo ketoro mengandung makna dan arti  suatu kebenara atau  perbuatan baik meskipun dilakukan secara diam-diam maka lambat laun akan diketahui juga, demikian halnya sepandai-pandainya menyimpan  perbuatan tercela dan kebusukan hati maka lambat laun akan diketahui orang lain juga. Secara ringkas peribahasa ini mengajarkan manusia untuk selalu jujur.
Peribahasa ringkas ini jika terinternalisasi dalam diri setiap elemen bangsa ini, maka budaya korupsi akan bisa dihapuskan. Persoalannya bagaimana mentransfer semangat nilai-nilai luhur ini sehingga menjadi pedoman perilaku. Muncul dalam setiap derap langkah peserta didik baik ketika masa pendidikan maupun kelak ketika berkiprah mempraktekkan ilmunya.
Mengikuti tahapan konstruksi budaya sehingga terinternalisasi dalam diri manusia, maka proses penyerapan nilai-nilai luhur peribahasa Becik ketitik olo ketoro bisa dimulai dari berbagai sisi. Keteladanan di berbagai sisi kehidupan akan memudahkan proses kontruksi nilai-nilai luhur ini. Kejujuran bukanlah sebuah konsep abstrak yang merugikan kehidupan manusia. Sebaliknya dengan kejujuran kehidupan manusia akan lebih baik. Di sekolah misalnya, ajarkan para siswa untuk menempuh segala proses dengan tahapan yang benar. Yakinkan mereka bahwa proses yang benar dan jujur lebih diutamakan daripada hasil akhir kumpulan nilai.
Dalam prakteknya tentu tidak mudah. Kita menyadari kalau banyak sekolah dan guru masih menempatkan besaran nilai sebagai acuan keberhasilan pendidikan. Seorang anak yang jujur masih dianggap tidak berhasil dalam pendidikan kalau dia tidak lulus ujian sekolah atau ujian nasional. Seorang anak yang jujur dalam setiap ucapan dan tingkah lakunya tetap tidak lulus sekolah kalau tidak berhasil mencapai besaran nilai minimal yang sudah ditetapkan. Kondisi ini tentu menakutkan bagi setiap siswa. Muaranya mereka lebih memilih segala cara untuk mendapat nilai bagus alih-alih mempertahankan kejujuran yang sudah dianut selama ini.
Kondisi di rumah juga harus mendukung proses internalisasi nilai Becik ketitik olo ketoro ini. Kalau orang tua masih menjadikan acuan nilai sebagai standar keberhasilan pendidikan putra-putrinya maka internalisasi Becik ketitik olo ketoro sulit dilakukan. Di rumah, proses ini membutuhkan kerjasama dari semua elemen. Orang tua, anak, kakek, nenek dan siapapun yang tinggal bersama harus bekerjasama untuk menanamkan nilai-nilai tersebut.
Teringat ketika di masa kecil orang tua dan lingkungan di jaman dulu begitu intens menanamkan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Praktek tersebut yang nampaknya mulai surut baik di lingkungan pendidikan formal maupun non formal. Ada kecenderungan untuk memupuk kebanggaan ketika sumber-sumber nilai yang diajarkan justru diadopsi dari budaya bangsa lain. Seolah-olah kearifan nilai-nilai lokal tidak layak lagi dijadikan acuan dalam proses penyusunan materi-materi pendidikan.
Maka pemikiran tokoh-tokoh lokal seolah terpinggirkan dengan kehadiran pemikir asing yang lebih mampu mengkonseptualisasikan sebuah ide. Bukankah selama ini sudah terbukti keberhasilan para pendahulu bangsa ini untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran. Sebelum kemudian datang konsep-konsep pendidikan baru yang mulai mengikis keberadaan kearifan nilai-nilai lokal. Kembali menggali warisan budaya bangsa ini kemudian kembali pada praktek-praktek yang telah diterapkan berpuluh tahun, bisa menjadi jalan keluar untuk mendidik karaktek bangsa.