Praktek
korupsi di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Lebih parahnya korupsi sudah
menjadi budaya di kalangan masyarakat. Di setiap level masyarakat
praktek-praktek korupsi terjadi. Budaya korupsi direproduksi terus menerus
sehingga terinternalisasi dalam jiwa bangsa ini. Karena itu dibutuhkan sebuah
proses pendidikan yang mampu melakukan dekonstruksi budaya tersebut. Salah
satunya dengan menggali nilai-nilai kearifan local berbasis budaya bangsa ini.
Budaya Jawa menjadi salah satu acuan dengan beragam ajaran luhur di dalamnya.
Peribahasa Becik Ketitik Olo Ketoro mengandung nilai-nilai luhur yang mendalam
dan bisa dijadikan sebagai bagian dari pendidikan anti korupsi. Tentu saja
implementasinya membutuhkan kerjasama, sinergi dan kemauan kuat dari sekolah,
guru, orang tua dan segenap elemen masyarakat.
Korupsi
sudah menjadi penyakit kronis yang pelan tapi pasti menghancurkan sendi-sendi
kehidupan bangsa ini. Kehadiran lembaga pemberantasan korupsi ternyata belum
mampu memutus lingkaran setan praktek perampokan uang rakyat ini. Kemudian
muncul pesimisme di kalangan masyarakat, mungkinkah korupsi bisa diberantas
dari kehidupan bangsa ini?darimana harus diawali untuk memutus lingkaran setan
korupsi?konsep apa yang perlu diterapkan agar budaya anti korupsi tertanam di
jiwa masyarakat kita sehingga bisa membentengi dari godaan korupsi?.
Pendidikan Anti Korupsi
Selain keburukan system dan lemahnya pengawasan, ternyata korupsi juga
disebabkan telah mendarahdagingnya budaya ini di tengah masyakat kita. Budaya
korupsi diinternalisasi di berbagai tempat dengan beragam jalan. Lambat laun
budaya ini menjadi watak yang mencerminkan perilaku. Di berbagai level
kehidupan masyakat entah di keluarga, sampai satuan terbesar yakni negara,
korupsi telah membudaya. Untuk melihat bagaimana proses internalisasi budaya
korupsi mari kita cermati ilustrasi berikut:
Terjadi
perbincangan yang menarik dalam sebuah keluarga[i].
Ayah: Bu tadi saya kena
tilang, dari pada repot dengan urusan persidangan maka saya kasih saja pak
polisi uang
Ibu: gak pa-pa pak,
sidang juga mbayar. Tadi ibu juga perpanjang KTP pak, katanya satu bulan baru
jadi, padahal ibu perlu KTP untuk buka rekening Bank, jadi tadi ibu kasih uang
petugasnya biar cepet jadi.
Adik: Kok ayah dan ibu
kasih uang ke orang sih, buat adik aja to
Ibu: bukan ngasih uang
dik, tapi kalau ngurus surat2 biar cepet memang harus begitu
Adik: Ooo gitu to,
kalau ngurus surat2 biar cepet harus pakai duit
Budaya korupsi ditanamkan melalui pendidikan formal maupun informal yang
terjadi di ruang-ruang kelas, di jalan, rumah, instansi pemerintahan, dan
lingkungan masyarakat lainnya. Di ruang-ruang kelas, siswa sering diajari
bagaimana korupsi waktu, nilai dan kecurangan lainnya untuk mencapai target-target
pendidikan formal yang sudah dicanangkan.
Guru dan siswa terlambat masuk kelas dianggap sebagai suatu kelaziman
biasa. Untuk mencapai target kelulusan sekolah sering menggunakan segala cara
baik yang dilakukan oleh siswa maupun sekolah. Kecurangan pada proses ujian
nasional bukan lagi sebbuah aib melainkan budaya yang terus-menerus dipelihara.
Budidaya korupsi di Indonesia ternyata
lahir dari kuatnya budaya korupsi dalam masyarakat kita. Di berbagai bidang dan
tingkat sosial, korupsi terjadi secara masif. Cara-cara korup seperti mengakali
proyek, menyuap, nyogok, upeti, nilep uang dan sejenisnya sudah dianggap
sebagai kewajaran. Budaya korupsi ini di internalisasi di berbagai lingkungan
mulai dari keluarga, jalanan, sekolah, RT, RW, kampus, rumah sakit dan berbagai
layanan publik lainnya. Kita diajari, diberi peluang, ditawari untuk mencapai
tujuan dengan prosedur yang tidak benar. Di sekolah misalnya, banyak sekolah
menghalalkan segala cara agar semua siswanya lulus ujian nasional. Orang tua rela
nyogok agar anaknya diterima di sekolah atau kampus favorit. Para siswa agar
lulus ujian memilih membeli kunci jawaban daripada susah-susah belajar giat. Secara tidak langsung system ini kemudian mendarahdaging pada diri setiap
siswa dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi.
Di jalan raya proses pembalajaran korupsi juga dipertontonkan secara
terbuka ketika tawar-menawar denda tilang pelanggaran lalu lintas dilakukan. Di
rumah orang tua menunjukkan bagaimana caranya mencapai tujuan dengan pintas
tampa menempuh proses yang benar. Dalam kondisi seperti ini apa yang bisa
dilakukan agar mata rantai budaya korupsi bisa dihentikan?. Model pendidikan
seperti apakah yang perlu dikembangkan untuk mendukung proses pemberantasan
korupsi?.
Pendidikan didefiniskan
dalam beragam bentuk, cara dan tujuan. Menurut UU no. 20 tahun 2003 pendidikan
disebut sebagai: Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasan belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memilki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat bangsa & negara. (ps.1).
Definisi
tersebut menggambarkan bagaimana pendidikan sejatinya merupakan upaya untuk
membentuk karakter baik manusia sehingga mampu berperan positif bagi diri,
masyarakat, bangsa dan negaranya. Keberhasilan pendidikan bukanlah angka-angka
ajaib kelulusan melainkan sejauh mana peserta didik tersebut memiliki kualitas
paripurna dalam kendali spiritual, sehingga mampu memadukan keerdasan akal
dengan kemuliaan akhlak ketika menghadapi suatu masalah.
Artinya
pendidikan tidak dimaksudkan untuk menjadikan pribadi instan atau mengkarbit
manusia menjadi sosok tertentu dengan ukuran keberhasilan ragawi semata.
Fenomena budaya korupsi yang terjadi pada bangsa ini menunjukkan bahwa
pendidikan belum mampu menghasilkan pribadi manusia yang utuh secara spiritual
dan fisik. Kalau kita cermati, pelaku korupsi justru mereka yang memiliki
tingkat pendidikan tinggi.
Fenomena
tersebut tentunya tidak bisa dilepaskan dari budaya menerabas yang seolah sudah
begitu kuat menancap dalam kepribadian bangsa ini. Prof. Koentjaraningrat menyebutkan
lima sifat mentalitas yang tidak sesuai dengan pembangunan. Salah satunya sifat
mentalitas yang suka menerabas. Menerabas artinya mengabaikan proses dan
mementingkan hasil. Mentalitas menerabas berarti meremehkan mutu ketika
mengharapkan keunggulan hasil dan mengacuhkan kualitas proses. Manusia lebih
memilih jalan yang paling mudah dalam melakukan sesuatu tanpa melalui proses
yang benar. Budaya menerabas menjadi akar pembenaran praktek korupsi.
Proses tersebut
melalui tahapan konstruksi realitas yang dialami oleh bangsa ini. Dalam
pandangan Berger proses tersebut melalui tiga tahapan. Pertama, ekternalisasi
yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia baik dalam
kegiatan mental maupun fisik. Kedua, objektivasi yaitu hasil yang telah dicapai
baik secara mental maupun fisik dari eksternalisasi yang telah dilakukan
manusia. Eksternalisasi menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan
menghadapi manusia itu sendiri. Ketiga, internalisasi yaitu proses penyerapan
kembali dunia objektif kedalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif
individu dipengaruhi oleh struktur dunia social (Eriyanto,2002:13). Melalui
internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat .
Salah
satu yang patut digali sebagai rujukan pendidikan karakter bangsa ini adalah
luhurnya nilai-nilai budaya Jawa. Beragam pepatah, ular-ular, nasehat, wejangan
dan kesahajaan budaya Jawa bisa menjadi sumber pendidikan yang tidak terhingga.
Salah satunya adalah peribahasa Jawa yang berbunyi: Becik ketitik olo ketoro. Peribahasa
Becik ketitik olo ketoro mengandung
makna dan arti suatu
kebenara atau perbuatan baik meskipun
dilakukan secara diam-diam maka lambat laun akan diketahui juga, demikian
halnya sepandai-pandainya menyimpan
perbuatan tercela dan kebusukan hati maka lambat laun akan diketahui
orang lain juga. Secara ringkas peribahasa ini mengajarkan manusia untuk
selalu jujur.
Peribahasa
ringkas ini jika terinternalisasi dalam diri setiap elemen bangsa ini, maka
budaya korupsi akan bisa dihapuskan. Persoalannya bagaimana mentransfer
semangat nilai-nilai luhur ini sehingga menjadi pedoman perilaku. Muncul dalam
setiap derap langkah peserta didik baik ketika masa pendidikan maupun kelak
ketika berkiprah mempraktekkan ilmunya.
Mengikuti
tahapan konstruksi budaya sehingga terinternalisasi dalam diri manusia, maka
proses penyerapan nilai-nilai luhur peribahasa Becik ketitik olo ketoro bisa dimulai dari berbagai sisi.
Keteladanan di berbagai sisi kehidupan akan memudahkan proses kontruksi
nilai-nilai luhur ini. Kejujuran bukanlah sebuah konsep abstrak yang merugikan
kehidupan manusia. Sebaliknya dengan kejujuran kehidupan manusia akan lebih
baik. Di sekolah misalnya, ajarkan para siswa untuk menempuh segala proses
dengan tahapan yang benar. Yakinkan mereka bahwa proses yang benar dan jujur
lebih diutamakan daripada hasil akhir kumpulan nilai.
Dalam
prakteknya tentu tidak mudah. Kita menyadari kalau banyak sekolah dan guru
masih menempatkan besaran nilai sebagai acuan keberhasilan pendidikan. Seorang
anak yang jujur masih dianggap tidak berhasil dalam pendidikan kalau dia tidak
lulus ujian sekolah atau ujian nasional. Seorang anak yang jujur dalam setiap
ucapan dan tingkah lakunya tetap tidak lulus sekolah kalau tidak berhasil
mencapai besaran nilai minimal yang sudah ditetapkan. Kondisi ini tentu
menakutkan bagi setiap siswa. Muaranya mereka lebih memilih segala cara untuk
mendapat nilai bagus alih-alih mempertahankan kejujuran yang sudah dianut
selama ini.
Kondisi
di rumah juga harus mendukung proses internalisasi nilai Becik ketitik olo ketoro ini.
Kalau orang tua masih menjadikan acuan nilai sebagai standar keberhasilan
pendidikan putra-putrinya maka internalisasi Becik ketitik olo ketoro sulit dilakukan. Di rumah, proses ini
membutuhkan kerjasama dari semua elemen. Orang tua, anak, kakek, nenek dan
siapapun yang tinggal bersama harus bekerjasama untuk menanamkan nilai-nilai
tersebut.
Teringat
ketika di masa kecil orang tua dan lingkungan di jaman dulu begitu intens
menanamkan nilai-nilai luhur budaya Jawa. Praktek tersebut yang nampaknya mulai
surut baik di lingkungan pendidikan formal maupun non formal. Ada kecenderungan
untuk memupuk kebanggaan ketika sumber-sumber nilai yang diajarkan justru
diadopsi dari budaya bangsa lain. Seolah-olah kearifan nilai-nilai lokal tidak
layak lagi dijadikan acuan dalam proses penyusunan materi-materi pendidikan.
Maka
pemikiran tokoh-tokoh lokal seolah terpinggirkan dengan kehadiran pemikir asing
yang lebih mampu mengkonseptualisasikan sebuah ide. Bukankah selama ini sudah
terbukti keberhasilan para pendahulu bangsa ini untuk menanamkan nilai-nilai
kejujuran. Sebelum kemudian datang konsep-konsep pendidikan baru yang mulai
mengikis keberadaan kearifan nilai-nilai lokal. Kembali menggali warisan budaya
bangsa ini kemudian kembali pada praktek-praktek yang telah diterapkan berpuluh
tahun, bisa menjadi jalan keluar untuk mendidik karaktek bangsa.
No comments:
Post a Comment