Seiring bergulirnya roda reformasi, kran kebebasan pers pun dibuka lebar. Kehidupan pers yang sempat mengalami masa-masa sulit di jaman orde baru menjadi begitu bebas seiring runtuhnya rezim berkuasa. Arti kebebasan pers itu sendiri tentu saja bukan sekedar untuk kepentingan awak media tetapi lebih dari itu merupakan pemenuhan hak masyarakat untuk memperoleh informasi. Dengan kehidupan pers yang bebas berarti kebutuhan masyarakat akan informasi yang lengkap, benar dan terpercaya dapat terpenuhi.
Pada masa lampau dimana kehidupan pers diibaratkan dalam kondisi yang tiarap, hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang lengkap sangatlah sulit diwujudkan. Ada semacam ketakutan dari pengelola pers karena begitu represifnya pemerintah dimasa itu, sehingga pers yang tidak berpihak terhadap kepentingan penguasa akan hilang dari peredaran.. Keadaan demikian membuat pers dihadapkan pada situasi yang dilematis. Di satu pihak pers diidealkan sebagai alat kontrol sosial dan saluran hati nurani rakyat, tetapi disisi lain pers adalah suatu lembaga industri yang berusaha untuk tetap survive sehingga pers juga harus menjaga kelangsungan hidupnya dengan mematuhi aturan penguasa pada saat itu.
Ketakutan pers dimasa itu adalah suatu yang wajar, tetapi takut bukan berarti takluk. Seorang wartawan senior Goenawan Muhamad menggambarkan kondisi tersebut dengan pernyataanya “untuk membedakan pers yang baik dan buruk ukurannya adalah antara mereka yang takut dan mereka yang takluk”. Pers yang bebas bisa merasa takut melayani publik, mereka bisa saja terpaksa berbohong. Seorang yang paling pemberanipun memiliki rasa takut karena ia tetaplah manusia. Ketakutan adalah manusiawi yang wajar, mereka takut sehingga tidak bisa memberitakan dengan bebas. Ini tentu saja berbeda dengan mereka yang takluk dan menyerah. Mereka tunduk dan membiarkan kekeliruan dan kejahatan yang terjadi di sekitarnya.
Secara ideal pers seyogyanya objektif dalam artian berita yang diturunkan merupakan cerminan dari realitas empiris. Namun kondisi dilematis yang dihadapi pers dimasa lampau seringkali membuat mereka dihadapkan pada kondisi yang serba salah. Disatu sisi mereka memiliki tanggungjawab moral untuk memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi sedangkan disisi lain ada penguasa yang siap menghancurkan eksistensi pers jika tidak sesuai kebijakan yang telah ditetapkan. Pada kondisi seperti ini seringkali timbul distorsi informasi baik yang bersifat systemic distortion maupun random distortian. Systemic distortion biasanya terjadi melalui pembiasan informasi yang disengaja. Sementara random distortion terjadi melalui kecerobohan atau ketidaktahuan dari pengelola media.
Berbagai kiat yang ditempuh pengelola pers ketika itu semata-mata dilandasi keinginan agar masyarakat tetap bisa mengakses informasi meskipun terbatas. Artinya jika pers memaksakan berhadapan secara frontal dengan penguasa maka pembredelan tidak bisa dihindari. Dalam kondisi seperti ini tentu akibatnya lebih buruk karena masyarakat sama sekali tidak memperoleh informasi. Oleh karena itu meskipun informasi yang diperoleh masyarakat terbatas itu masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Kita bisa membaca dari sejarah perjalanan pers di Indonesia bagaimana penguasa orde baru pada saat itu bisa membubarkan sebuah industri pers apabila pemberitaanya tidak sesuai dengan kepentingan mereka.
Beberapa contoh kasus pembredelan pers dimasa orde baru diantaranya kasus pembredelan yang dialami oleh majalah TEMPO, Editor dan Tabloid Detik pada 21 Juni 1974. Cukup singkat waktu yang diperlukan oleh Menteri Penerangan ketika itu untuk membatalkan SIUPP ketiga media tersebut. Alasannya, majalah Editor dan Tabloid Detik dinilai sudah melakukan kesalahan administratif, sedangkan majalah TEMPO dianggap memberitakan hal-hal yang melanggar dan membahayakan stabilitas nasional. TEMPO dibredel karena keberanianya mengusik masalah pembelian 39 kapal perang eks Jerman Timur.
Pada masa reformasi sekarang ini dimana kebebasan pers mendapat perlindungan hukum yang lebih baik mestinya bayang-bayang ketakutan terhadap pembredelan yang dilakukan pihak penguasa tidak ada lagi. Pada saat ini sebenarnya independensi dan profesional pers diuji. Periode kritis seperti sekarang ini adalah alat yang paling tepat untuk mengukur kredibilitas dan integritas pers. Mereka harus memilih dan pilihan itulah yang menunjukkan kredibilitas mereka.
Pers Mahasiswa
Ditengah maraknya kehidupan pers nasional seiring perkembangan kebebasan memperoleh informasi, kehidupan pers kampus justru menunjukkan kondisi yang sebaliknya. Pertumbuhan pers nasional yang demikian pesat seiring bergulirnya kran kebebasan pers ternyata tidak terjadi dalam kehidupan pers kampus. Kondisi yang ada justru menunjukkan keadaan sebaliknya. Banyak pers mahasiswa yang eksistensinya semakin tidak jelas. Ibarat pepatah hidup segan mati tak mau. Secara de jure mereka ada tetapi secara de facto kiprahnya sama sekali tidak nampak. Bahkan tidak sedikit yang sudah gulung tikar atau tinggal nama sehingga keberadaannya seolah sebatas pelengkap dari dinamika kehidupan intelektual civitas akademikanya.
Kondisi pers mahasiswa yang demikian itu setidaknya disebabkan oleh beberapa hal yaitu, pertama masalah pendanaan. Sebagian besar pers mahasiswa menggantungkan sumber pendanaan dari subsidi kampus. Semua kebutuhan untuk terbitnya media kampus mulai dari reportase berita sampai cetak diperoleh dari dana subsidi ini. Keadaan seperti ini membuat kehidupan pers mahasiswa tidak sehat. Jika sewaktu-waktu pihak kampus menghentikan subsidinya maka dengan sendirinya keberadaan pers itu akan mati. Selain itu kondisi semacam ini juga mengakibatkan pers mahasiswa seringkali kehilangan nyali ketika harus mengkritisi berbagai kebijakan kampus. Fungsi pers sebagai sarana kontrol kehidupan kampus dan sarana kontrol sosial menjadi tidak nampak sama sekali. Keberadaan pers mahasiswa pun tak lebih sebagai kepanjangan tangan dari kepentingan kampus. Untuk itu sudah semestinya dirumuskan suatu konsep yang memungkinkan pers kampus bisa mandiri.
Permasalahan kedua adalah konsistensi dari pengelola pers mahasiswa itu sendiri. Konsistensi disini meliputi rutinitas penerbitan dan juga substansi isi. Banyak pengelola pers mahasiswa yang terkesan asal-asalan dalam menjalankan aktifitasnya. Sebagai contoh pers mahasiswa terbitan bulanan yang semestinya secara konsisten hadir tiap bulan bisa hadir dua bulan sekali atau malah tidak pasti kapan terbitnya. Lebih parah lagi seringkali kandungan isinya tidak sesuai dengan fungsinya sebagai saluran aspirasi mahasiswa. Keadaan seperti ini mengakibatkan pers mahasiswa tidak diminati. Mahasiwa sendiri pada akhirnya menjadi enggan untuk mengkonsumsinya, sehingga lambat laun pers mahasiswa lenyap dari peredaran karena ditinggal pembacanya. Untuk mengatasi kondisi ini para pengelola pers mahasiswa semestinya memperhatikan betul-betul pola rekrutmen pengurusnya. Pola rekrutmen terarah disertai pendidikan dan pelatihan jurnalistik yang cukup akan menghasilkan sumber daya manusia yang bisa diandalkan. Keberadaan SDM yang tangguh merupakan modal penting bagi kelangsungan pers mahasiswa.
Ketiga, banyak pers mahasiswa yang terjebak dalam lokalitas area kampus sehingga menjadi pers yang tertutup. Mereka kehilangan kepekaan dalam menangkap berbagai peristiwa di luar kampus sehingga apa yang mereka sajikan kehilangan rohnya. Pers mahasiswa yang semestinya bisa kritis dalam menyikapi berbagai peristiwa di sekelilingya menjadi tumpul karena terjebak dalam lokalitas kampus. Ada semacam keengganan untuk melihat lebih dalam apa yang terjadi di luar sana. Kondisi seperti ini tentunyatidak bisa dibiarkan berlarut-larut.
Melihat kondisi kehidupan pers mahasiswa yang demikian maka sudah saatnya dilakukan berbagai perubahan menuju kondisi lebih baik. Ditengah suasana kebebasan memperoleh informasi semestinya pers mahasiswa bangun dan menjadi bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Saatnya mengahiri tidur panjang dan menyingsingkan lengan baju guna kemajuan bangsa ini. Sumbangsih dunia kampus sebagai perwujudan pengabdian kepada masyarakat bisa dilakukan dari sini. Perjalanan reformasi bangsa kita yang dicetuskan pada tahun 98 lalu masih terengah-engah dan membutuhkan sosok-sosok penuh kepedulian untuk mengembalikan kondisi bangsa ini yang sudah terlanjur bobrok.
No comments:
Post a Comment