Friday, September 6, 2013

Dedicated for Mbah Kiyah

Di dunia yang sudah serba materialistic ini katanya semua harus disertai uang. Misalnya, ngurus perijinan, atau surat-saurat penting, masuk sekolah, mencari kerja, semua harus disertai “pelicin biar cepet. Atau ujung-ujungnya duit lah yang berbicara. Bahasa sarkasmenya, bahkan kita buang hajat aja harus bayar. Tidak ada yang gratis, karena manusia sudah menjadi “homo economicus”.
Namun, sebuah pengalaman di masa kuliah membuka mata saya, kalau tidak semua al di dunia ini bisa diselesaikan dengan uang. Ada nilai-nilai kepercayaan, persahabatan, kepedulian yang masih mewakili nurani manusia.
Di masa kuliah lalu, saya tinggal di sebuah kos sederhana di JL. TImoho Raya 276 Tembalang Semarang. Singkat kata kos itu kemudian lebih dikenal dengan sebutan wisma 276. Walaupun namanya wisma jangan dibayangkan kalau bentuknya mewah. Wisma 276 adalah sebuah rumah sederhana yang masih terbuat dari kayu, lantainya pun masih berupa tanah. Hanya di kamar-kamar yang digunakan sebagai tempat kos, sudah di semen bawahnya.
Rumah ini milik Simbah Karjan dan Sukiyah, sepasang kakek-nenek yang romantic dan baik hati. Kami tinggal di kos tersebut bukan karena tidak ada tempat lain yang lebih bagus tetapi karena hanya di tempat Mbah Kiyah itulah, kos termurah dan bisa “ngutang”. Banyak teman-teman kos saya yang tidak mampu membayar kos meminta ijin kepada Mbah Kiyah untuk “ngutang bayar kos”. Mereka baru membayar biaya kos setelah lulus dan mendapat pekerjaan. Ada yang sampai 2 bahkan 3 tahun tidak membayar kos. Baru mereka membayar kos setelah lulus dan bekerja.
Habis lebaran kemarin saya sempat silaturahmi ke rumah Mbah Kiyah, sekarang sudah berubah menjadi bangunan permanen dua lantai. Bagian bawah disewakan untuk usaha salon sedangkan di lantai atas digunakan untuk café. Hilanglah sudah harapan untuk mengenang kembali wisma 276 yang telah melahirkan banyak kenangan, dan persahabatan. Hilanglah tempat mulia yang telah membantu mewujudkan cita-cita banyak penghuninya. Anak-anaknya lebih menyukai jika tempat orang tuanya berubah menjadi ladang usaha yang menjanjikan, daripada menjadi ladang amal untuk membantu mahasiswa yang tidak mampu. Saya tidak menyalahkan anak-anaknya, hanya saja senyum mbah Kiyah yang selalu kami lihat setiap kali membantu mahasiswa hilanglah sudah. Dia tinggal di sebuah kamar, di salah satu rumah anaknyanya. Kehilangan kuasa atas kesenangan dan kesempatanya membantu orang lain.
Jum’at 23 agustus 2013 beliau menghembuskan nafas terakhir. Meninggalkan beribu kebaikan yang akan selalu kami kenang. Semoga amal dan kebaikannya membawa kemudahan langkahnya untuk menggapai surga.

No comments:

Post a Comment