Kecelakaan maut yang
menewaskan sembilan orang terjadi pada hari Minggu 22 Januari 2012. Kecelakaan
berlangsung, minggu siang, ketika rombongan orang yang baru kelar berolah raga
di Monas, tiba-tiba ditabrak mobil yang dikendarai Apriyani Susanti. Saksi mata
menuturkan, mobil yang dikendaraai perempuan bertubuh besar itu melaju kencang
dari arah Monas[1].
Sopir Daihatsu Xenia hitam bernomor polisi B 2479 XI
yang menabrak delapan pejalan kaki di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat,
berinisial AS, wanita berusia 29 tahun. Saat diperiksa, AS tak bisa
memperlihatkan Surat Izin Mengemudi dan hanya memperlihatkan STNK atas nama
orang lain. Polisi masih mendalami penyebab kecelakaan. Saksi mata di lokasi,
Suwarto (40), menduga sopir mabuk saat mengendarai kendaraan. Namun Kasat
Lantas Polres Jakpus Komisaris Gimo Husodo memperkirakan penyebab kecelakaan
adalah rem mobil yang tak berfungsi dengan baik[2].
Berita kecelakaan maut yang
terjadi di Jakarta tersebut segera menyedot perhatian jutaan orang di seluruh
Indonesia. Beragam komentar, analisa, ide, masukan, cacian dan luapan emosi
lainnya memenuhi ruang maya di berbagai kanal. Lokasi kecelakaan yang terjadi
di Jakarta membuat magnitude peristiwanya semakin besar. Lokasi ibu kota negara
memudahkan penyebaran informasi. Dunia yang terbentang dalam jutaan kilometer
jarak di darat dan laut bukanlah penghalang untuk mengetahui peristiwa terkini
yang terjadi di berbagai tempat. Perkembangan teknologi di bidang komunikasi
membuat penyebaran informasi semakin cepat, mudah dan menjangkau berbagai
belahan dunia. Kondisi tersebut menjadi menarik untuk melihat bagaimana
kekuatan determinisme teknologi dan posisi media massa yang selama ini dianggap
sebagai sumber informasi yang paling banyak diakses. Tulisan ini bermaksud
untuk mengkaji teori determinisme teknologi dan posisi media decenter pada kasus pemberitaan
kecelakaan maut di Tugu Tani Jakarta.
No comments:
Post a Comment