Wednesday, November 27, 2013

Pilih “Jenang” daripada “Jeneng”

Solo, siapa yang tidak kenal kota ini. 
Semenjak dahulu Solo selalu menjadi bahan pembicaraan banyak orang. Tidak ada habisnya kalau menceritakan Kota yang dinamis tetapi tetap kental nuansa budayanya ini. Saya sendiri beberapa kali berkesempatan untuk datang ke kota ini. Setiap kali datang ke Solo biasanya saya tidak melewatkan makanan khasnya yaitu Timlo dan tidak lupa mampir ke Pasar Klewer. Keduanya mewakili ikon kota Solo selain Keraton, Manahan, dan Batik.

Sedapnya Timlo sudah tidak diragukan, siapapun yang mencoba pasti ketagihan.

Timlo yang sedaaap, sumber gambar disini
Ketenaran Pasar Klewer sebagai salah satu pasar tradisional terbesar di Jawa Tengah juga tidak terbantahkan. Kalau ditanya Solo biasanya salah satu kesan yang muncul adalah Pasar Klewer. 
Pasar Klewer, kondang ke berbagai penjuru tanah air, sumber gambar disini
Nah itu contoh foto Timlo dan Pasar Klewer. Namun tulisan kali ini tidak bermaksud untuk membahas wisata kuliner dan tempat-tempat menarik di kota Solo secara mendalam. Bukan pula membahas TImlo dan Pasar KLewer secara khusus. 

Selain kuliner, tempat wisata, pusat kulakan dan tempat bersejarah di Solo, ada sisi lain yang membuat saya terkesan dengan dinamisasi kehidupan warganya. Layaknya masyarakat Jawa yang penuh dengan dunia simbolik, masyarakat Solo juga penuh dengan simbol-simbol budaya. Simbolisasi kehidupan masyarakat Jawa, nampak pada makanan, pakaian, senjata, kendaraan, bangunan, maupun sistem sosial budaya yang mengalir dalam kehidupan sehari-hari. Simbolisasi tersebut mewakili unsur Ageman (pakaian), Daharan atau Sugatan (makanan), Panggonan (tempat tinggal), dan Lelaku (petunjuk berperilaku).

Salah satu falsafah hidup “Wong Solo” yang menarik adalah prinsip memilih Jenang daripada Jeneng. Secara harfiah Jenang adalah makanan khas Jawa yang berasa manis. Sementara Jeneng berarti nama, yang diartikan sebagai gelar, ketenaran, kedudukan, sebutan atau kasta tertentu dalam strata sosial.

Jenang terbuat dari campuran tepung, gula, dan kelapa. Dalam perkembanganya rasa jenang juga berkembang dengan campuran bahan-bahan lainnya. Jenang juga sudah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Solo. Salah satunya dibuktikan dengan digelarnya Festival Jenang setiap tahunnya.

Jenang Solo, sumber gambar disini


Untuk memperdalam pengetahuan tentang Jenang Solo, saya mewawancarai beberapa teman yang lahir dan besar di Solo. Ada juga beberapa teman yang menuntut ilmu di Solo dan tinggal selama bertahun-tahun di Kota Budaya tersebut. 

Sejauh yang saya pahami Jenang dalam simbolisasi "Wong Solo" diartikan sebagai kerja keras untuk mencapai kesuksesan. Untuk membuat Jenang dibutuhkan kerja keras, tetasan keringat dan keuletan sehingga makanan tersebut bisa matang dengan sempurna. Artinya mereka lebih suka kalau berkembang dalam kehidupan ekonominya daripada mengejar Jeneng atau status yang terkadang kosong. Nasehat yang selalu diberikan orang tua semenjak kecil yaitu, "Gaweo Jenang Mengko Kowe Oleh Jeneng" (buatlah Jenang maka kamu akan dapat Jeneng). Kalau kita bekerja keras dan mampu mencapai kesuksesan dalam ekonomi, pendidikan dan pekerjaan maka dengan sendirinya nama kita akan dikenal orang. Rasa hormat, segan, dan posisi sosial diperoleh melalui rangkaian prestasi yang ditorehkan. Jadi Jeneng diperoleh dengan sendirinya bukan karena diwarisi gelar secara turun-temurun.

Falsafah Jenang ternyata menjadi pelecut bagi Wong Solo untuk selalu mengembangkan diri. Mereka tidak segan untuk merantau demi memperolah kesuksesan dan menggapai cita-cita. Meski demikian mereka tidak tercerabut dari akal budayanya sehingga tetap menjadi pribadi yang kalem, bersahaja tetapi tetap memiliki ketegasan dan kecerdasan dala menghadapi persoalan.

Dinamisasi masyarakat Solo mencerminkan pribadi yang terbuka, mau menerima perubahan, tidak anti orang asing dan hal baru. Untuk mencapai kesuksesan tentunya dibutuhkan sikap terbuka, karena itu falsafah Jenang juga didorong dengan simbolisasi lainnya. Orang Solo itu dinamis, mudah membuka diri dan menerima perubahan. Cobalah diamati ketika  orang Solo mantu atau menggelar hajatan lainnya. Biasanya mereka akan membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Hal ini untuk menunjukkan kalau mereka orang yang terbuka terhadap perubahan atau hal baru atau terbuka dengan orang baru.

Solo adalah cerminan Indonesia mini, ketika beragam budaya tumpah ruah di kota ini. Dalam balutan falsafah Jenang mereka beerja keras menorehkan prestasi tanpa tercerabut dari akar budayanya. Kayaknya, kesan memilih Jenang daripada Jeneng begitu membekas dalam hidup saya. Mengajarkan kerja keras dan keuletan, kemandirian daripada menghabiskan waktu mengejar gengsi yang terkadang omong kosong belaka. 
 
Mari ke Solo, kita cicipi Jenangnya dan tiru semangat kerja kerasnya.

2 comments:

  1. Mantab nih artikelnya.. Jd inget cerita mbahku, meninggalkan gelar keraton (Raden/Rr) biar bs kerja dimanapun tanpa rasa malu. Krn dg adanya gelar, menghalangi kita untuk bekerja apa saja misalnya kerja serabutan di pasar. Kata orang jawa kabotan jeneng, jd susah mendapatkan jenang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget...jaman sudah moderen dan ukuran prestasi seseorang diukur dari karyanya bukan rentetan gelar yang diwariskan dari leluhurnya

      Delete