Tuesday, August 20, 2013

Mahasiswa Berprestasi?

Menyandang predikat mahasiswa berprestasi atau mahasiswa teladan merupakan kebanggaan tersendiri bagi setiap mahasiswa.  Dengan predikat mahasiswa berprestasi  berarti ia adalah mahasiswa dengan berbagai kelebihan diatas rata-rata mahasiswa pada umumnya. Selain itu juga menimbulkan kebanggaan tersendiri bagi orangtua, lingkungan sekitar, dan tentu saja almamater tempatnya kuliah. Seseorang yang menjadi teladan akan mendapat keistimewaan dan kemudahan dalam berbagai hal. Misalnya adalah kemudahan dalam memperoleh beasiswa, memiliki kedekatan dengan dosen dan berbagai kemudahan perkara akademik lainnya.. Pendek kata predikat mahasiswa berprestasi yang disandang seseorang akan banyak memberi manfaat bagi dirinya dan lingkungan sekitarnya.

Selama ini mahasiswa berprestasi selalu didentikkan dengan kemampuannya memperoleh indeks prestasi yang tinggi (bahkan cumlaude), lulus dalam waktu yang pendek, menjadi asisten dosen, menyabet berbagai tropi, gelar, atau penghargaan dari berbagai kejuaraan, pintar berbicara dalam berbagai bahasa asing dan berbagai kriteria prestasi akademik lainnya. Pandangan seperti ini muncul karena memang sistem evaluasi di perguruan tinggi yang masih menempatkan kriteria-kriteria  tersebut untuk mengukur prestasi seorang mahasiswa. Tentu saja tidak mengherankan jika orang tua wali, dunia kerja dan  masyarakat pada umumnya memandang mahasiswa berprestasi dengan kriteria itu pula. Dalam pengajuan beasiswa dan melamar kerja misalnya persyaratan prestasi akademis seperti indeks prestasi yang tinggi, tropi, piagam dan gelar kejuaraan  selalu menjadi kriteria yang tidak pernah terlewatkan. Sudah barang tentu mereka yang tidak memenuhinya berarti tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti seleksi selanjutnya.

Landasan berfikir bahwa kriteria prestasi seseorang mesti diukur dengan kriteria akademis tidak bisa lepas dari pandangan pragmatis matematis yang memandang bahwa prestasi adalah sesuatu yang harus bisa diukur secara jelas dengan menggunakan angka. Dengan angka dapat diketahui si A lebih berprestasi dari si B dengan margin sekian dan sebagainya. Tafsiran angka ini mereduksi sisi lain dari seorang mahasiswa diluar kemampuan akademisnya. Sehingga meskipun seorang mahasiswa memiliki sifat yang egois, tidak peduli terhadap lingkungan sekitarnya, tidak memiliki sifat empati terhadap sesamanya, tetaplah ia seorang mahasiswa yang berprestasi dimata sebagian besar orang asalkan kemampuan akademisnya bagus. Hal ini tentu saja mengabaikan sisi manusiawai diluar kemampuan akademis seseorang. Seorang manusia bukanlah mesin yang hanya bisa diukur produktifitas dan prestasinya berdasar output yang bisa diukur dengan angka, tetapi dia adalah pribadi unik yang mesti dipandang secara utuh sisi-sisi manuiawinya. Menilai prestasi seseorang hanya dengan mengukur kemampuan akademisnya pada dasarnya baru mengukur manusia dari kulit luarnya saja. Ukuran akademis tidak akan mampu menjangkau sisi-sisi terdalam dari manusia seperti kemampuannya untuk memberikan manfaat pada sesamanya.
Kriteria  selain akademis
Model pendidikan pragmatis hanya menghasilkan sosok manusia seperti halnya mesin produksi yang tujuannya adalah menghasilkan materi semata, sehingga akhirnya memunculkan orang-orang yang egois, apatis, dan terkadang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Lihatlah betapa banyak orang pintar dan cerdas di negeri ini, betapa banyak orang dengan berbagai gelar dan prestasi akademik yang dimiliki bangsa ini tetapi hanya sedikit dari mereka yang memiliki kemauan dan kepedulian untuk memberi manfaat kepada sesamanya. Untuk apa orang pintar dan cerdas kalau hanya bermanfaat untuk kepentingannya sendiri, sementara dilain pihak banyak saudaranya yang membutuhkan uluran tangannya.
Jika hanya kriteria akademis yang kita gunakan untuk mengukur prestasi sosok seorang teladan jelas itu tidak cukup. Untuk itu perlu diperhatikan beberapa kriteria lain untuk menilai sosok teladan secara utuh. Tidak dipungkiri bahwa kriteria akademis ini penting untuk menilai prestasi seseorang tetapi harus didampingi dengan kriteria lain seperti demokratis, humanis dan tentu saja moralitas. Sosok seorang yang demokratis berarti pribadi yang penuh toleransi, mau menerima perbedaan di sekitarnya dan peka terhadap aspirasi orang lain. Hal ini sangat penting dimiliki oleh seorang mahasiswa yang nantinya akan terjun untuk mengamalkan ilmunya baik di lingkungan kerja maupun lingkungan masyarakat disekitarnya. Sosok yang demokratis akan lebih supel dan fleksibel ketika bergaul dengan sesamanya. Ditengah orang-orang yang memiliki kemampuan akademis berbeda dia akan mampu menempatkan dirinya sebagai sosok yang aspiratif dan toleran. Dia tidak akan menempatkan dirinya seolah-olah orang paling pintar, pendapatnya paling benar, sebagai sumber rujukan, tidak mau menerima pendapat pihak lain, meremehkan orang lain dan sikap-sikap egois lainnya. Tidak salah kiranya jika kriteria demokratis ini semestinya melekat  pada sosok seorang mahasiswa teladan. Banyak kita jumpai dalam masyarakat kita orang yang secara akademis bagus tetapi  tidak demokratis sehingga ketika menjadi pejabat atau wakil rakyat misalnya ia tidak memiliki kepekaan terhadap aspirasi rakyat, otoriter, dan arogan ketika memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya. Mereka menjadi orang-orang yang tertutup mata batinnya oleh berbagai kelebihan akademis yang ada pada dirinya.
Kriteria berikutnya yang perlu dimasukkan untuk menilai seorang mahasiswa teladan adalah kriteria humanis. Sosok yang humanis memiliki  kepekaan terhadap sisi-sisi kemanusiaan orang lain, mampu berempati terhadap sesamanya, dan senantiasa mengedepankan jalan damai dan menghindari kekerasan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Kekerasan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan kita. Para mahasiswa telah demikian akrab dengan praktek kekerasan dalam berbagai bentuk. Sosok mahasiswa teladan yang menjadi suri tauladan dan panutan dari mahasiswa lainnya selayaknya adalah orang yang humanis. Ini menjadi penting mengingat banyak orang yang mengabaikan hal ini. Dijaman seperti sekarang ini sudah semakin sulit untuk mencari orang  yang memliki empati terhadap sesamanya. Ketika kebanyakan orang yang kita temui lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan semakin acuh dengan keadaan orang lain di sekitarnya kita memerlukan sosok humanis yang bisa menjadi panutan terutama bagi generasi muda.
Moralitas sudah menjadi barang yang mahal, langka, dan diabaikan di negeri ini. Orang sudah tidak malu lagi untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral sekalipun. Sebagai contoh dari berita di berbagai media massa menginformasikan pada kita bagaimana tindakan korupsi sudah menggurita di negeri ini. Korupsi sebagai sebuah tindakan yang tidak bermoral sudah tidak membuat malu pelakunya. Selain itu integritas moral juga menjadi masalah serius bagi para pemimpin di negeri ini seperti pejabat negara dan para wakil rakyat. Mereka yang memiliki jabatan dan kekuasaan tetapi tidak memiliki integritas moral yang tinggi cenderung akan menyelewengkan jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadi. Tidak heran jika Lord Acton mengungkapkan bahwa kekuasaan tanpa integritas moral yang tinggi akan cenderung korup.
Mahasiswa sebagai agen perubahan dan calon pemimpin bangsa ini dimasa depan haruslah sosok yang memiliki integritas moral yang tinggi. Apa jadinya bangsa ini dimasa yang akan datang jika dipimpin oleh orang-orang yang tidak memiliki integritas moral. Berbagai krisis yang dihadapi bangsa ini akan semakin ruwet dan sulit diselesaikan jika pemimpinnya adalah orang yang tidak bermoral. Apabila seorang pemimpin tidak bermoral maka yang susah tentu saja rakyat itu sendiri. Uhntuk itu moralitas menjadi sesuatu yang penting dalam menilai atau menetapkan seseorang sebagai teladan bagi lainnya.

Mahasiswa teladan bukanlah sekedar sosok yang hanya memiliki kemampuan dan keunggulan dari sisi akademis saja tetapi perlu juga memiliki  keunggulan dari sisi lainnya. Karenanya menilai seorang mahasiswa teladan hanya dari sisi akademisnya saja jelas sangat dangkal dan tidak cukup. Sosok mahasiswa teladan diharapkan tidak hanya seorang yang mampu secara akademis tetapi juga sosok yang demokratis, humanis dan memiliki integritas moral yang tinggi. Harapannya adalah sebagai sosok teladan ia akan mampu menjadi panutan bagi orang laing dan tentu saja mampu memberi manfaat bagi sesamanya. Ibarat kata, ilmu yang tidak memberi manfaat bagaikan pohon yang tidak berbuah. Menggunakan penilaian akademis saja sebagai kriteria dalam menilai prestasi peserta didik jelas bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri yang ingin menjadikan manusia sebagai sosok yang seutuhnya.

No comments:

Post a Comment