Menyandang predikat mahasiswa berprestasi atau
mahasiswa teladan merupakan kebanggaan tersendiri bagi setiap mahasiswa. Dengan predikat mahasiswa berprestasi berarti ia adalah mahasiswa dengan berbagai
kelebihan diatas rata-rata mahasiswa pada umumnya. Selain itu juga menimbulkan
kebanggaan tersendiri bagi orangtua, lingkungan sekitar, dan tentu saja
almamater tempatnya kuliah. Seseorang yang menjadi teladan akan mendapat
keistimewaan dan kemudahan dalam berbagai hal. Misalnya adalah kemudahan dalam
memperoleh beasiswa, memiliki kedekatan dengan dosen dan berbagai kemudahan
perkara akademik lainnya.. Pendek kata predikat mahasiswa berprestasi yang
disandang seseorang akan banyak memberi manfaat bagi dirinya dan lingkungan
sekitarnya.
Selama ini mahasiswa berprestasi selalu didentikkan
dengan kemampuannya memperoleh indeks prestasi yang tinggi (bahkan cumlaude),
lulus dalam waktu yang pendek, menjadi asisten dosen, menyabet berbagai tropi,
gelar, atau penghargaan dari berbagai kejuaraan, pintar berbicara dalam
berbagai bahasa asing dan berbagai kriteria prestasi akademik lainnya.
Pandangan seperti ini muncul karena memang sistem evaluasi di perguruan tinggi
yang masih menempatkan kriteria-kriteria
tersebut untuk mengukur prestasi seorang mahasiswa. Tentu saja tidak
mengherankan jika orang tua wali, dunia kerja dan masyarakat pada umumnya memandang mahasiswa
berprestasi dengan kriteria itu pula. Dalam pengajuan beasiswa dan melamar
kerja misalnya persyaratan prestasi akademis seperti indeks prestasi yang
tinggi, tropi, piagam dan gelar kejuaraan
selalu menjadi kriteria yang tidak pernah terlewatkan. Sudah barang
tentu mereka yang tidak memenuhinya berarti tidak memiliki kesempatan untuk
mengikuti seleksi selanjutnya.
Landasan berfikir bahwa kriteria prestasi seseorang
mesti diukur dengan kriteria akademis tidak bisa lepas dari pandangan pragmatis
matematis yang memandang bahwa prestasi adalah sesuatu yang harus bisa diukur secara
jelas dengan menggunakan angka. Dengan angka dapat diketahui si A lebih
berprestasi dari si B dengan margin sekian dan sebagainya. Tafsiran angka ini
mereduksi sisi lain dari seorang mahasiswa diluar kemampuan akademisnya.
Sehingga meskipun seorang mahasiswa memiliki sifat yang egois, tidak peduli
terhadap lingkungan sekitarnya, tidak memiliki sifat empati terhadap sesamanya,
tetaplah ia seorang mahasiswa yang berprestasi dimata sebagian besar orang
asalkan kemampuan akademisnya bagus. Hal ini tentu saja mengabaikan sisi
manusiawai diluar kemampuan akademis seseorang. Seorang manusia bukanlah mesin
yang hanya bisa diukur produktifitas dan prestasinya berdasar output yang bisa
diukur dengan angka, tetapi dia adalah pribadi unik yang mesti dipandang secara
utuh sisi-sisi manuiawinya. Menilai prestasi seseorang hanya dengan mengukur
kemampuan akademisnya pada dasarnya baru mengukur manusia dari kulit luarnya
saja. Ukuran akademis tidak akan mampu menjangkau sisi-sisi terdalam dari
manusia seperti kemampuannya untuk memberikan manfaat pada sesamanya.
Kriteria selain akademis
Model pendidikan pragmatis hanya menghasilkan sosok
manusia seperti halnya mesin produksi yang tujuannya adalah menghasilkan materi
semata, sehingga akhirnya memunculkan orang-orang yang egois, apatis, dan
terkadang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Lihatlah betapa
banyak orang pintar dan cerdas di negeri ini, betapa banyak orang dengan
berbagai gelar dan prestasi akademik yang dimiliki bangsa ini tetapi hanya
sedikit dari mereka yang memiliki kemauan dan kepedulian untuk memberi manfaat
kepada sesamanya. Untuk apa orang pintar dan cerdas kalau hanya bermanfaat
untuk kepentingannya sendiri, sementara dilain pihak banyak saudaranya yang
membutuhkan uluran tangannya.
Jika hanya kriteria akademis yang kita gunakan untuk
mengukur prestasi sosok seorang teladan jelas itu tidak cukup. Untuk itu perlu
diperhatikan beberapa kriteria lain untuk menilai sosok teladan secara utuh.
Tidak dipungkiri bahwa kriteria akademis ini penting untuk menilai prestasi
seseorang tetapi harus didampingi dengan kriteria lain seperti demokratis,
humanis dan tentu saja moralitas. Sosok seorang yang demokratis berarti pribadi
yang penuh toleransi, mau menerima perbedaan di sekitarnya dan peka terhadap
aspirasi orang lain. Hal ini sangat penting dimiliki oleh seorang mahasiswa
yang nantinya akan terjun untuk mengamalkan ilmunya baik di lingkungan kerja
maupun lingkungan masyarakat disekitarnya. Sosok yang demokratis akan lebih
supel dan fleksibel ketika bergaul dengan sesamanya. Ditengah orang-orang yang
memiliki kemampuan akademis berbeda dia akan mampu menempatkan dirinya sebagai
sosok yang aspiratif dan toleran. Dia tidak akan menempatkan dirinya
seolah-olah orang paling pintar, pendapatnya paling benar, sebagai sumber
rujukan, tidak mau menerima pendapat pihak lain, meremehkan orang lain dan
sikap-sikap egois lainnya. Tidak salah kiranya jika kriteria demokratis ini
semestinya melekat pada sosok seorang
mahasiswa teladan. Banyak kita jumpai dalam masyarakat kita orang yang secara
akademis bagus tetapi tidak demokratis
sehingga ketika menjadi pejabat atau wakil rakyat misalnya ia tidak memiliki kepekaan
terhadap aspirasi rakyat, otoriter, dan arogan ketika memanfaatkan kekuasaan
yang dimilikinya. Mereka menjadi orang-orang yang tertutup mata batinnya oleh
berbagai kelebihan akademis yang ada pada dirinya.
Kriteria berikutnya yang perlu dimasukkan untuk
menilai seorang mahasiswa teladan adalah kriteria humanis. Sosok yang humanis
memiliki kepekaan terhadap sisi-sisi
kemanusiaan orang lain, mampu berempati terhadap sesamanya, dan senantiasa
mengedepankan jalan damai dan menghindari kekerasan dalam menyelesaikan masalah
yang mereka hadapi. Kekerasan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia
pendidikan kita. Para mahasiswa telah demikian
akrab dengan praktek kekerasan dalam berbagai bentuk. Sosok mahasiswa teladan
yang menjadi suri tauladan dan panutan dari mahasiswa lainnya selayaknya adalah
orang yang humanis. Ini menjadi penting mengingat banyak orang yang mengabaikan
hal ini. Dijaman seperti sekarang ini sudah semakin sulit untuk mencari orang yang memliki empati terhadap sesamanya.
Ketika kebanyakan orang yang kita temui lebih mengedepankan kepentingan pribadi
dan semakin acuh dengan keadaan orang lain di sekitarnya kita memerlukan sosok
humanis yang bisa menjadi panutan terutama bagi generasi muda.
Moralitas sudah menjadi barang yang mahal, langka,
dan diabaikan di negeri ini. Orang sudah tidak malu lagi untuk melakukan
tindakan-tindakan yang tidak bermoral sekalipun. Sebagai contoh dari berita di
berbagai media massa
menginformasikan pada kita bagaimana tindakan korupsi sudah menggurita di
negeri ini. Korupsi sebagai sebuah tindakan yang tidak bermoral sudah tidak
membuat malu pelakunya. Selain itu integritas moral juga menjadi masalah serius
bagi para pemimpin di negeri ini seperti pejabat negara dan para wakil rakyat. Mereka
yang memiliki jabatan dan kekuasaan tetapi tidak memiliki integritas moral yang
tinggi cenderung akan menyelewengkan jabatan dan kekuasaan yang dimilikinya
untuk kepentingan pribadi. Tidak heran jika Lord Acton mengungkapkan bahwa
kekuasaan tanpa integritas moral yang tinggi akan cenderung korup.
Mahasiswa sebagai agen perubahan dan calon pemimpin bangsa
ini dimasa depan haruslah sosok yang memiliki integritas moral yang tinggi. Apa
jadinya bangsa ini dimasa yang akan datang jika dipimpin oleh orang-orang yang
tidak memiliki integritas moral. Berbagai krisis yang dihadapi bangsa ini akan
semakin ruwet dan sulit diselesaikan jika pemimpinnya adalah orang yang tidak
bermoral. Apabila seorang pemimpin tidak bermoral maka yang susah tentu saja
rakyat itu sendiri. Uhntuk itu moralitas menjadi sesuatu yang penting dalam
menilai atau menetapkan seseorang sebagai teladan bagi lainnya.
Mahasiswa teladan bukanlah sekedar sosok yang hanya
memiliki kemampuan dan keunggulan dari sisi akademis saja tetapi perlu juga
memiliki keunggulan dari sisi lainnya.
Karenanya menilai seorang mahasiswa teladan hanya dari sisi akademisnya saja
jelas sangat dangkal dan tidak cukup. Sosok mahasiswa teladan diharapkan tidak
hanya seorang yang mampu secara akademis tetapi juga sosok yang demokratis,
humanis dan memiliki integritas moral yang tinggi. Harapannya adalah sebagai
sosok teladan ia akan mampu menjadi panutan bagi orang laing dan tentu saja
mampu memberi manfaat bagi sesamanya. Ibarat kata, ilmu yang tidak memberi
manfaat bagaikan pohon yang tidak berbuah. Menggunakan penilaian akademis saja
sebagai kriteria dalam menilai prestasi peserta didik jelas bertentangan dengan
tujuan pendidikan itu sendiri yang ingin menjadikan manusia sebagai sosok yang
seutuhnya.
No comments:
Post a Comment