Wednesday, August 14, 2013

Suami Makan Gaji Istri

SUAMI makan gaji istri bukanlah fenomena baru pada masa sekarang ini. Dinamika kehidupan keluarga penuh dengan pasang surut cerita kehidupan. Dalam suatu masa, sebuah keluarga bisa hidup dalam kecukupan ekonomi, sementara pada masa yang lain mengalami kekurangan.

Perubahan kondisi ekonomi keluarga bisa disebabkan oleh beragam faktor. Sebagai contoh terjadinya bencana alam, kebakaran, pemutusan hubungan kerja, dan krisis ekonomi. Bencana tsunami yang melanda pada tahun 2004 lalu menghancurkan kehidupan ekonomi masyarakat Aceh. Di masa krisis ekonomi tahun 1998 banyak karyawan yang diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Jumlah pengangguran meningkat sehingga berimbas pada peningkatan jumlah penduduk miskin. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96 persen). Angka ini berkurang sebanyak 890.000 jiwa dibanding periode yang sama tahun lalu (Suaramerdeka. com/2/7/2012). Meskipun terjadi penurunan, angka tersebut masih menunjukkan tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Banyak pekerja laki-laki yang seharusnya bertindak sebagai penopang ekonomi keluarga terpaksa harus menganggur. Kondisi seperti ini lazim terjadi pada setiap keluarga sehingga memunculkan fenomena maraknya suami yang makan dari penghasilan istri.
Fenomena perempuan bekerja sudah lazim dalam kehidupan masyarakat. Semenjak dahulu, perempuan sudah menjadi penopang ekonomi keluarga. Perempuan tersebar di berbagai lapangan pekerjaan sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki. Mereka bisa ditemukan di instansi pemerintah, rumah sakit, perkantoran swasta, kepolisian, tentara, pasar, mal, terminal, sekolah, persawahan, pabrik, dan kebun teh. Jenis pekerjaan yang membutuhkan intelegensi ataupun tenaga kasar bisa dimasuki oleh perempuan.
Kemampuan perempuan untuk tampil sebagai penopang ekonomi keluarga dilatarbelakangi oleh beragam faktor. Pertama, kapabilitas dan akseptabilitas perempuan di dunia kerja. Peningkatan kapabilitas perempuan yang disebabkan oleh perbaikan tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki membuat mereka lebih mudah diterima di dunia kerja. Akseptabilitas perempuan tampak dari banyaknya lowongan pekerjaan yang mempersyaratkan pekerja perempuan. Mereka lebih diterima di dunia kerja karena keuletan, kerajinan dan loyalitas yang ditunjukkan. Kemampuan perempuan untuk mendapatkan pekerjaan membuat peran mereka dalam menopang ekonomi keluarga lebih meningkat.
Faktor kedua, banyak laki-laki yang tidak mampu tampil sebagai penopang ekonomi keluarga karena beragam alasan. Kondisi sakit, sikap malas, tidak memiliki keterampilan, tidak berpendidikan, tidak memiliki etos kerja, dan enggan mencoba usaha sendiri adalah contoh penyebab ketidakmampuan laki-laki menjadi penopang ekonomi keluarga. Seorang ibu yang melihat suaminya malas mencari pekerjaan sementara kebutuhan keluarga tidak terpenuhi tentu akan mencoba mencari jalan keluar agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Pilihan perempuan untuk bekerja dilandasi semangat untuk memenuhi kebutuhan anak dan memastikan dapur keluarga tetap berjalan.
Selain sektor formal, banyak perempuan yang mampu meraih sukses ekonomi di sektor informal. Usaha yang dijalankan dari rumah ataupun dikelola secara online banyak melahirkan perempuan yang sukses di bidang ekonomi. Meski demikian, masih banyak perempuan yang mengandalkan tenaga kasar untuk memperoleh penghasilan. Berjualan di pasar, terminal, menjadi buruh gendong, kuli bangunan, petugas kebersihan terminal dan tukang parkir adalah pilihan realistis untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebagian perempuan lain memilih menjadi tenaga kerja di luar negeri meskipun ancaman penyiksaan dan penindasan selalu membayangi.
Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Provinsi Jawa Tengah menyebutkan jumlah Tenaga Kerja Indonesia yang berangkat ke luar negeri sejak Januari hingga 26 Juli 2012 tercatat berjumlah 62.279 orang, sedangkan pada tahun 2011 lalu sebanyak 125.000 orang. Dari jumlah tersebut pekerja perempuan berkonstribusi sebanyak 39.506 orang dan pekerja pria sebanyak 22.287 orang.
Harta Istri
Dalam pandangan Islam, perempuan bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarga diperbolehkan sepanjang jenis dan cara melakukannya halal. Penghasilan yang diterima dari pekerjaan tersebut sepenuhnya menjadi milik perempuan. Hal ini berbeda dari penghasilan yang diperoleh seorang suami.
Sebagai kepala rumah tangga, di dalam penghasilan suami terdapat hak istri dan anak-anaknya. Hal ini disebutkan dalam Alquran, Surat Al-Baqarah ayat 233 Allah SWT berfirman: ”Wajib bagi setiap suami untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada istri, dengan sepantasnya.” (Alquran, Surat Al-Baqarah: 233).
Ayat di atas menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah sang suami memberikan nafkah kepada istri, sehingga dalam harta yang diperoleh suami, ada bagian yang harus diberikan kepada istri. Jika suami tidak memberikannya, maka suami bersikap zalim, dan istri berhak untuk mengambil sesuai dengan kebutuhannya.
Artinya, proses penggunaan harta suami untuk kepentingan keluarga adalah kewajiban yang harus ditunaikan meskipun sang suami tidak rela.
Hal ini berbeda dari kepemilikan harta istri yang sepenuhnya menjadi miliknya. Pemanfaatan harta istri untuk kepentingan keluarga harus sesuai dengan izin dan kerelaannya. Harta seorang istri tidak boleh digunakan oleh suami tanpa adanya izin dan kerelaan darinya.
Harmoni dalam Keluarga
Untuk mencapai tujuan keluarga dibutuhkan sebuah harmoni antara suami, istri dan anak. Perjalanan keluarga ibarat kapal mengarungi luasnya lautan yang penuh riak gelombang. Dibutuhkan kekompakan dan kerja sama antarsemua elemen dalam kapal. Nakhoda, awak kapal, dan penum-pang memiliki keinginan yang sama, yaitu selamat sampai tempat tujuan. Karena itu, dibutuhkan komunikasi intensif agar semua pihak memahami peran dan kontribusinya bagi perjalanan.
Dalam kehidupan keluarga, terkadang suami tidak mampu menjalankan perannya dengan baik guna memenuhi kebutuhan keluarga. Karena itu, kehadiran istri sebagai penopang keluarga adalah keniscayaan. Meskipun status harta istri adalah sepenuhnya menjadi miliknya tetapi wanita dianjurkan untuk menginfakkan hartanya untuk keluarga. Hal ini merupakan wujud sikap tolong-menolong dan etika sebagai seorang istri.
Peran Khadijah pada masa awal dakwah Rasulullah merupakan contoh yang agung tentang peran istri dalam mendukung suami dan keluarga. Khadijah menginfakkan hampir seluruh hartanya untuk kemajuan dakwah Islam. Penghasilannya yang besar dari perdagangan digunakan untuk mendukung peran suami dalam penyebaran Islam. Meskipun lebih kaya dari suami, beliau tidak kehilangan rasa hormat terhadap Rasulullah sebagai suami. Kondisi tersebut menjadi contoh harmoni kehidupan keluarga yang mengedepankan sikap tolong-menolong dan kasih sayang. (24)
Dimuat di harian Suara Merdeka, 1 Agustus 2012

No comments:

Post a Comment