Perjuangan perempuan pada periode ini dilatari oleh semangat pembebasan
dan dan perlawanan terhadap penjajah. Pada periode ini perjuangan perempuan
dibagi tiga babak, yaitu : (1) perempuan mengangkat senjata; (2) perempuan
mendidik; dan (3) babak perempuan berpolitik dan berorganisasi. Sejak datang
pada akhir abad XVI (1596), selama ratusan tahun Belanda terus mengeruk keuntungan
dari tanah Indonesia yang menjadi jajahannya. Mereka melakukan monopoli perdagangan,
merampas, dan mengeluarkan kebijakan tanam paksa. Diperlakukan sewenang-wenang seperti
itu, muncul perlawanan di seluruh Indonesia. Sejumlah nama perempuan di
beberapa daerah muncul pada periode ini. Bersama kaum laki-laki, mereka turut
mengangkat senjata mengusir penjajah. Misalnya Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak
Muthia di Aceh; Raden Ayu Ageng Serang, Roro Gusik (istri Untung Surapati) di Jawa;
Christina Martha Tiahahu di Maluku; dan sejumlah nama lainnya.
Pada babak perempuan mendidik diawali dengan
diberlakukannya “politik etis” (1901) di Indonesia. Konsep ini merupakan upaya
pemerintahan kolonial Belanda untuk memajukan penduduk wilayah jajahan sebagai
wujud balas budi atas keuntungan yang sudah dikeruknya. Salah satu upaya tersebut
adalah dengan memberi peluang kepada penduduk wilayah jajahan (mereka
menggunakan istilah pribumi) untuk mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang
lebih tinggi. Di kemudian hari, merekalah yang akan memperoleh kesempatan
menjadi pegawai rendahan pemerintah kolonial. Mereka juga yang kemudian
memiliki kesadaran meneruskan (menularkan/ mendiseminasikan) pengetahuan yang
didapatnya kepada sesama pribumi.
Meskipun jumlah kaum perempuan yang beruntung
memperoleh pendidikan itu tidak begitu banyak, tetapi usaha mereka untuk memajukan
perempuan lainnya merupakan upaya cukup tepat. Mereka yang bergerak memajukan
kaum perempuan dalam bidang pendidikan adalah R.A. Kartini di Jawa Tengah, Raden
Dewi Sartika di Jawa Barat, Rohana Kudus di Minangkabau, Maria Walanda Maramis
di Sulawesi Utara, Ny. Hj. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Ny. Hj. Rasuna Said di Sumatera
Barat, dan beberapa nama lainnya yang melakukan usaha yang sama di daerah masing-masing.
Pada masa ini, Kartini menjadi sosok yang penting karena beliau adalah pejuang kesetaraan gender pertama yang pernah ada di Indonesia. Kartini membuka lebar-lebar pintu emansipasi bagi perempuan.
Kebanyakan perempuan Indonesia yang semula pasif, pasrah, bahkan ada yang
berfilsafat "swarga nunut nraka
katut", mulai
menampakkan peranannya melalui pintu emansipasi yang telah dibuka oleh
R.A.Kartini. Kartini juga pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan
perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan
ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Ia adalah seorang tokoh pertama pendobrak
patron dan paham patriarki dalam budaya masyarakat Jawa yang kental.
Pemikirannya yang aneh dan menyalahi adat pada jamannya saat itu, justru
menjadi tonggak sejarah bangkitnya perjuangan wanita dalam mengalahkan tirani
dan penindasan terhadap perempuan.
Selanjutnya, pendidikan yang dikenyam pada
masa kolonial melahirnya banyak perubahan pada diri kaum perempuan, di antaranya
kesadaran untuk berorganisasi. Hal tersebut dilakukan demi keinginan terbebas
dari belenggu penjajah, dan upaya menyelesaikan masalah sosial seperti
pelacuran, permaduan (perempuan yang dimadu), perkawinan anak-anak, dan perdagangan
perempuan dan anak-anak. Menurut beberapa sumber sejarah, Poetri Mardika (1912)
tercatat sebagai organisasi nasionalis perempuan pertama. Organisasi ini
kemudian diikuti oleh kelahiran organisasi lainnya seperti Poetri Sedjati,
Wanita Oetama, Jong Java Meisjeskering, dan yang lainnya.
Setelah tahun 1920, berdiri organisasi perempuan yang
berbasis agama, diantaranya : Aisiyyah, Muslimat NU, dan Poesara Wanita
Katholik (yang dikemudian hari menjadi Persatuan Wanita Katolik Indonesia).
Kemudian pada tahun 1928 di Yogyakarta diadakan Kongres Perempuan Indonesia
pertama. Dihadiri oleh lebih dari 30 organisasi perempuan. Pokok-pokok yang
dibahas adalah masalah pendidikan, reformasi perkawinan, koedukasi (perempuan
dan laki-laki bersama-sama sekolah dalam satu kelas), dan poligami. Pada
kongres tersebut juga dibentuk Persatoean Perempoean Indonesia (PPI), yang
setahun kemudian diubah menjadi Perikatan Perhimpoenan Perempuan Indonesia
(PPPI). Satu-satunya organisasi yang mengecam politik kolonial Belanda dan
anti-kapitalisme adalah Isteri Sedar. Organisasi ini berdiri tahun 1930, dan
tidak bergabung dengan Kongres Perempuan Indonesia karena adanya perbedaan
pandangan, terutama mengenai poligami
No comments:
Post a Comment