Saturday, August 10, 2013

Perempuan di Masa Kemerdekaan

Perjuangan perempuan pada periode ini dilatari oleh semangat pembebasan dan dan perlawanan terhadap penjajah. Pada periode ini perjuangan perempuan dibagi tiga babak, yaitu : (1) perempuan mengangkat senjata; (2) perempuan mendidik; dan (3) babak perempuan berpolitik dan berorganisasi. Sejak datang pada akhir abad XVI (1596), selama ratusan tahun Belanda terus mengeruk keuntungan dari tanah Indonesia yang menjadi jajahannya. Mereka melakukan monopoli perdagangan, merampas, dan mengeluarkan kebijakan tanam paksa. Diperlakukan sewenang-wenang seperti itu, muncul perlawanan di seluruh Indonesia. Sejumlah nama perempuan di beberapa daerah muncul pada periode ini. Bersama kaum laki-laki, mereka turut mengangkat senjata mengusir penjajah. Misalnya Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Muthia di Aceh; Raden Ayu Ageng Serang, Roro Gusik (istri Untung Surapati) di Jawa; Christina Martha Tiahahu di Maluku; dan sejumlah nama lainnya.

Pada babak perempuan mendidik diawali dengan diberlakukannya “politik etis” (1901) di Indonesia. Konsep ini merupakan upaya pemerintahan kolonial Belanda untuk memajukan penduduk wilayah jajahan sebagai wujud balas budi atas keuntungan yang sudah dikeruknya. Salah satu upaya tersebut adalah dengan memberi peluang kepada penduduk wilayah jajahan (mereka menggunakan istilah pribumi) untuk mengenyam pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Di kemudian hari, merekalah yang akan memperoleh kesempatan menjadi pegawai rendahan pemerintah kolonial. Mereka juga yang kemudian memiliki kesadaran meneruskan (menularkan/ mendiseminasikan) pengetahuan yang didapatnya kepada sesama pribumi.

Meskipun jumlah kaum perempuan yang beruntung memperoleh pendidikan itu tidak begitu banyak, tetapi usaha mereka untuk memajukan perempuan lainnya merupakan upaya cukup tepat. Mereka yang bergerak memajukan kaum perempuan dalam bidang pendidikan adalah R.A. Kartini di Jawa Tengah, Raden Dewi Sartika di Jawa Barat, Rohana Kudus di Minangkabau, Maria Walanda Maramis di Sulawesi Utara, Ny. Hj. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Ny. Hj. Rasuna Said di Sumatera Barat, dan beberapa nama lainnya yang melakukan usaha yang sama di daerah masing-masing.

Pada masa ini, Kartini menjadi sosok yang penting karena beliau  adalah pejuang kesetaraan gender pertama yang pernah ada di Indonesia. Kartini membuka lebar-lebar pintu emansipasi bagi perempuan. Kebanyakan perempuan Indonesia yang semula pasif, pasrah, bahkan ada yang berfilsafat "swarga nunut nraka katut", mulai menampakkan peranannya melalui pintu emansipasi yang telah dibuka oleh R.A.Kartini. Kartini juga pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Ia adalah seorang tokoh pertama pendobrak patron dan paham patriarki dalam budaya masyarakat Jawa yang kental. Pemikirannya yang aneh dan menyalahi adat pada jamannya saat itu, justru menjadi tonggak sejarah bangkitnya perjuangan wanita dalam mengalahkan tirani dan penindasan terhadap perempuan.

Selanjutnya, pendidikan yang dikenyam pada masa kolonial melahirnya banyak perubahan pada diri kaum perempuan, di antaranya kesadaran untuk berorganisasi. Hal tersebut dilakukan demi keinginan terbebas dari belenggu penjajah, dan upaya menyelesaikan masalah sosial seperti pelacuran, permaduan (perempuan yang dimadu), perkawinan anak-anak, dan perdagangan perempuan dan anak-anak. Menurut beberapa sumber sejarah, Poetri Mardika (1912) tercatat sebagai organisasi nasionalis perempuan pertama. Organisasi ini kemudian diikuti oleh kelahiran organisasi lainnya seperti Poetri Sedjati, Wanita Oetama, Jong Java Meisjeskering, dan yang lainnya.

Setelah tahun 1920, berdiri organisasi perempuan yang berbasis agama, diantaranya : Aisiyyah, Muslimat NU, dan Poesara Wanita Katholik (yang dikemudian hari menjadi Persatuan Wanita Katolik Indonesia). Kemudian pada tahun 1928 di Yogyakarta diadakan Kongres Perempuan Indonesia pertama. Dihadiri oleh lebih dari 30 organisasi perempuan. Pokok-pokok yang dibahas adalah masalah pendidikan, reformasi perkawinan, koedukasi (perempuan dan laki-laki bersama-sama sekolah dalam satu kelas), dan poligami. Pada kongres tersebut juga dibentuk Persatoean Perempoean Indonesia (PPI), yang setahun kemudian diubah menjadi Perikatan Perhimpoenan Perempuan Indonesia (PPPI). Satu-satunya organisasi yang mengecam politik kolonial Belanda dan anti-kapitalisme adalah Isteri Sedar. Organisasi ini berdiri tahun 1930, dan tidak bergabung dengan Kongres Perempuan Indonesia karena adanya perbedaan pandangan, terutama mengenai poligami

No comments:

Post a Comment