Pagi itu Senin 17 Agustus 1945, tanggal merah di
kalender dan juga hari libur nasional memperingati hari kemerdekaan. Namun hari
itu aku gak bisa liburan karena harus mengikuti upacara peringatan kemerdekaan
di kampus. Rasanya mau berangkat males dan segan.
Ketika para pahlawan berjuang untuk kemerdekaan
bangsa ini, mereka tidak bertanya apa yang bisa diberikan oleh Indonesia.
Mereka tidak bertanya saya mendapat jabatan apa, upah apa atau bahkan bertanya
apa untungnya bertaruh nyawa untuk kemerdekaan bangsa. Sekarang ini kita
terlalu banyak mengeluh, menuntut, mengolok bahkan menjelek-jelekkan bangsa
sendiri.
Saya sempat jengkel ketika mendengar banyak orang
pintar dari negeri ini yang lebih bangga menjadi pekerja di negeri lain
daripada pulang dan membangun negeri ini. Mereka sering berkata kenapa harus
pulang toh apa yang bisa diberikan oleh Indonesia. Kita terlalu banyak menuntut
kepada negeri ini padahal kita belum berbuat apa-apa. Kita sering bilang
Indonesia payah, banyak korupsi, macet, banjir, sampah. Di bidang pendidikan
kita selalu saja merasa minder terjajah dll
Untuk sekedar bangga aja kita pelit. Kita akan
terkagum-kagum melihat kehebatan Menara Eifel, tembok cina, taj mahal atau
bahkan sekedar air terjun niagara. Namun kita mencibir, biasa aja, ketika
mendengar cerita Ramayana, keindahan Borobudur apalagi melihat wayang kulit.
Yang ada adalah kita menjadi generasi pengekor,
terombang-ambing gak punya pegangan. Menjadi bagian komoditas budaya dunia yang
telah mencerabut jatidiri kita.
Ya demikian kondisi bangsa kita saat ini. Terus
kalau gak terima mau apa, mau pindah ke luar negeri menjadi warga negara lain?.
Untukmu Indonesiaku, seperti apapun kondisi dan keklurangan yang ada, Indonesia
tetaplah tanah air kita. Kekuarangan yang ada, adalah tantangan yang harus
dijawab. Kalau kita lari maka sesungguhnya kita pengecut. Ayo generasi muda,
para pahlwan telah memebrikan pondasi, mewariskan kemerdekaan dan mengajarkan
kita bagaimana menjadi sebuah bangsa yang kuat dan besar.
Tidak ada keberhasilan yang bisa diperoleh tanpa
usaha dan tekad yang kuat. Lihatlah ketika kita melempar sebuah batu ke tengah
telaga yang airnya tenang. Perlahan lahan gelaombang air yang timbul menyebar
dan merata sampai ke tepian. Itulah ibarat, sekecil apapun langlkah kita untuk
mengisi kemerdekaan, akan membawa efek yang besar bagi kemajuan bangsa ini.
Generasi 28 telah mengajarkan kepada kita arti
pentingnya integrasi sebagai suatu bangsa. Para tokoh generasi 28 yang
tergabung dalam Jong Java, Jong Sumatera, Jong Islamatien Bond
dan segenap potensi bangsa lainnya telah memberi contoh bagaimana integrasi
bangsa terbentuk. Untuk kepentingan yang lebih besar yaitu integrasi nasional,
mereka menyisihkan egoisme kesukuan, kebanggaan kelompok dan embel-embel primordial
lainnya. Mereka sadar tanpa integrasi nasional maka bangsa ini tidak akan
beranjak maju. Perpecahan dan konflik berkepanjangan akan dimanfaatkan pihak
luar untuk kembali menjajah bangsa ini.
Terpeliharanya mobilitas horizontal yang memungkinkan transformasi kultural
akan membawa Indonesia menuju keadaan yang disebut Global Village.
Konsep ini dikembangkan oleh Inis Mc Luhan seorang tokoh komunikasi yang
melihat perkembangan alat komunikasi memungkinkan orang di seluruh dunia untuk
berhubungan. Hilangnya batasan-batasan geografis sebagai negara karena
perkembangan teknologi komunikasi diibaratkan sebagai kondisi desa yang
mengglobal. Dalam masyarakat desa, satu sama lain bisa mengenal baik karena
tidak ada halangan untuk bertemu dan menjalin komunikasi. Dalam kondisi
demikian maka integrasi akan mudah terwujud.
No comments:
Post a Comment