Thursday, October 31, 2013

Tangis Minah dan Derita buruh migrant

Pertama melihat film ini pikiran saya teringat kenangan ketika masih duduk di bangku SMP, dipertengahan tahun 96 lalu. Ketika itu kondisi ekonomi keluarga kami sedang krisis, banyak hutang dan kebutuhan yang harus diselesaikan. Teringat kata-kata ibu waktu itu yang meminta ijin ke ayah agar bisa bekerja di Timur Tengah. Diawali dengan niat tulus untuk membantu perekonomian rumah tangga, memastikan anak-anaknya tercukupi kebutuhannya. Cerita keberhasilan tetangga yang bekerja di TImur Tengah, Taiwan, Hongkong dan negara lainnya telah mengusik keinginan ibu. Untunglah waktu itu ibu tidak jadi berangkat, setelah kakek dan keluarga lainnya meyakinkan bahwa di Indonesia masih ada kesempatan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terbayang dalam pikiran saya, jika saja ibu berangkat ketika itu bisa jadi nasibnya juga seperti buruh migrant lain. Dianiaya, dieksploitasi dan dibiarkan meskipun mereka adalah pahlawan devisa negara.
Melalui tulisan ini saya ingin berbagi pemikiran dan tentu saja menyalurkan kegundahan hati melihat fenomena buruh migrant. Film Minah Tetap Dipancung memberikan gambaran bagaimana kondisi para buruh migrant yang mengadu nasib di luar negeri. Apa yang terjadi pada Minah juga banyak menimpa buruh yang lain. Pada umumnya mereka mengalami beragam diskriminasi baik yang berasal dari Negara tempat bekerja maupun diskriminasi yang justru berasal dari pemerintah Indonesia sendiri. Ada beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan sekaligus harus segera dicari pemecahannya agar kasus Minah dan buruh migrant lain tidak terulang kembali.
1.      Perlindungan hukum bagi buruh migrant di luar negeri. Seringkali ketidakpedulian dari perwakilan Indonesia di luar negeri membuat buruh migrant yang tersangkut kasus hukum sulit mendapatkan pendampingan dan pembelaan yang layak. Biasanya mereka baru dipedulikan setelah kasusnya menjadi bahan pemberitaan di berbagai media massa
2.      Pentingnya pendidikan, dan pemahaman kebudayaan tempat tujuan mereka bekerja di luar negeri. Biasanya pihak biro tenaga kerja atau bahkan pemerintah lalai untuk mendidik dan mengajarkan budaya Negara tujuan sehingga para buruh migrant tidak tahu bagaimana harus bersikap dengan benar
3.      Banyaknya buruh migrant yang mengandalkan tenaga kasar dan bekerja di sector informal menunjukkan ketidakberhasilan pendidikan kita. Sementara beragam sector pekerjaan yang membutuhkan tenaga ahli di dalam negeri justru diisi tenaga asing. Bahasa kasarnya kita mengekspor buruh dan impor tenaga ahli.
4.      Akses komunikasi antara buruh migrant dengan perwakilan Indonesia dan keluarganya yang minim. Kasus MInah mengajarkan kepada kita bagaimana akses komunikasi antara Minah dengan kedutaan dan keluarganya sangat minim. Andai saja dia bisa berkomunikasi dengan kedutaan dan keluarganya semenjak awal ketika tuannya mulai memperkosa, tentu kejadian digantungnya Minah tidak perlu terjadi. Ketika mendapatkan masalah buruh migrant kita seringkali tidak mendapatkan bantuan sejak awal. Mereka tidak tahu harus berbuat apa ketika semua akses komunikasi tertutup
5.      Semestinya ada kordinasi dan pemahaman yang memadai tentang calon penerima tenaga kerja. Informasi ini penting agar keberadaan buruh migrant bisa dipantau setiap saat. Nama majika, tabiat, pekerjaan dan kebiasaan keluarga harus diketahui sejak awal sehingga bisa diantisipasi segala kemungkinan buruk yang terjadi.
Pada akhirnya semua hal itu berpulang dari paradigma bangsa ini dalam memandang keberadaan buruh migrant. Bagi Negara apakah mereka sekedar dipandang sebagai penyumbang devisa?sekedar rakyat kecil yang tidak perlu terlalu diperhatikan?atau justru dipandang sebagai kaum yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan kelompok, usaha atau bahkan sumbangan pemasukan Negara? Kita juga tidak menutup mata ketika sebagian bangsa ini justru menghujat dan menyalahkan buruh migrant. Kesulitan dan diskriminasi yang mereka peroleh dianggap sebagai kewajaran dan kesalahan mereka sendiri. Sering muncul ungkapan, “salah sendiri perempuan kerja di luar negeri”, “siapa suruh mata duitan nyari duit kerja di sana” dan beragam istilah lain yang menyakitkan.
Jika cara pandang bangsa dan negara ini terhadap buruh migrant tidak berubah, maka nasib merekapun sulit berubah. Kalau saja Negara ini mampu memenuhi kewajibannya mewujudkan masyarakat adil dan makmur tentu mereka tidak perlu menjadi buruh dan mempermalukan diri di Negara lain. Ini adalah persoalan bersama yang harus diatasi. Negara harus mampu memberikan hak warganya untuk memperoleh hidup layak. Bekerja di luar negeri sebagai tenaga informal semestinya tidak menjadi pilihan jika kebutuhan mereka bisa tercukupi.
Kasus Minah, Wilfrida dan buruh migrant lainnya semestinya menjadi cermin dan cambuk bagi pemerintah, masyarakat dan kita semua untuk meningkatkan kepedulian dan kemauan untuk membangun bangsa ini. Kekayaan alam kita melimpah tetapi hanya menumpuk dan dinikmati segelintir orang. Posisi pekerjaan banyak tetapi diserahkan kepada orang asing. Muaranya adalah maraknya diskriminasi dalam mengakses sumber ekonomi, pendidikan dan kesempatan berkembang. Hal ini harus dikikis habis karena segenap potensi yang dimiliki bangsa ini bukanlah milik individu atau golongan tetapi menjadi hak semua warga Negara.




No comments:

Post a Comment