Pertama melihat film
ini pikiran saya teringat kenangan ketika masih duduk di bangku SMP,
dipertengahan tahun 96 lalu. Ketika itu kondisi ekonomi keluarga kami sedang
krisis, banyak hutang dan kebutuhan yang harus diselesaikan. Teringat kata-kata
ibu waktu itu yang meminta ijin ke ayah agar bisa bekerja di Timur Tengah.
Diawali dengan niat tulus untuk membantu perekonomian rumah tangga, memastikan
anak-anaknya tercukupi kebutuhannya. Cerita keberhasilan tetangga yang bekerja
di TImur Tengah, Taiwan, Hongkong dan negara lainnya telah mengusik keinginan
ibu. Untunglah waktu itu ibu tidak jadi berangkat, setelah kakek dan keluarga
lainnya meyakinkan bahwa di Indonesia masih ada kesempatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Terbayang dalam pikiran saya, jika saja ibu berangkat ketika
itu bisa jadi nasibnya juga seperti buruh migrant lain. Dianiaya, dieksploitasi
dan dibiarkan meskipun mereka adalah pahlawan devisa negara.
Melalui tulisan ini
saya ingin berbagi pemikiran dan tentu saja menyalurkan kegundahan hati melihat
fenomena buruh migrant. Film Minah Tetap Dipancung memberikan gambaran
bagaimana kondisi para buruh migrant yang mengadu nasib di luar negeri. Apa
yang terjadi pada Minah juga banyak menimpa buruh yang lain. Pada umumnya
mereka mengalami beragam diskriminasi baik yang berasal dari Negara tempat
bekerja maupun diskriminasi yang justru berasal dari pemerintah Indonesia
sendiri. Ada beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan sekaligus harus
segera dicari pemecahannya agar kasus Minah dan buruh migrant lain tidak
terulang kembali.
1. Perlindungan
hukum bagi buruh migrant di luar negeri. Seringkali ketidakpedulian dari
perwakilan Indonesia di luar negeri membuat buruh migrant yang tersangkut kasus
hukum sulit mendapatkan pendampingan dan pembelaan yang layak. Biasanya mereka
baru dipedulikan setelah kasusnya menjadi bahan pemberitaan di berbagai media
massa
2. Pentingnya
pendidikan, dan pemahaman kebudayaan tempat tujuan mereka bekerja di luar
negeri. Biasanya pihak biro tenaga kerja atau bahkan pemerintah lalai untuk
mendidik dan mengajarkan budaya Negara tujuan sehingga para buruh migrant tidak
tahu bagaimana harus bersikap dengan benar
3. Banyaknya
buruh migrant yang mengandalkan tenaga kasar dan bekerja di sector informal
menunjukkan ketidakberhasilan pendidikan kita. Sementara beragam sector
pekerjaan yang membutuhkan tenaga ahli di dalam negeri justru diisi tenaga
asing. Bahasa kasarnya kita mengekspor buruh dan impor tenaga ahli.
4. Akses
komunikasi antara buruh migrant dengan perwakilan Indonesia dan keluarganya
yang minim. Kasus MInah mengajarkan kepada kita bagaimana akses komunikasi
antara Minah dengan kedutaan dan keluarganya sangat minim. Andai saja dia bisa
berkomunikasi dengan kedutaan dan keluarganya semenjak awal ketika tuannya
mulai memperkosa, tentu kejadian digantungnya Minah tidak perlu terjadi. Ketika
mendapatkan masalah buruh migrant kita seringkali tidak mendapatkan bantuan
sejak awal. Mereka tidak tahu harus berbuat apa ketika semua akses komunikasi
tertutup
5. Semestinya
ada kordinasi dan pemahaman yang memadai tentang calon penerima tenaga kerja.
Informasi ini penting agar keberadaan buruh migrant bisa dipantau setiap saat.
Nama majika, tabiat, pekerjaan dan kebiasaan keluarga harus diketahui sejak
awal sehingga bisa diantisipasi segala kemungkinan buruk yang terjadi.
Pada akhirnya semua hal
itu berpulang dari paradigma bangsa ini dalam memandang keberadaan buruh
migrant. Bagi Negara apakah mereka sekedar dipandang sebagai penyumbang
devisa?sekedar rakyat kecil yang tidak perlu terlalu diperhatikan?atau justru
dipandang sebagai kaum yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan kelompok,
usaha atau bahkan sumbangan pemasukan Negara? Kita juga tidak menutup mata
ketika sebagian bangsa ini justru menghujat dan menyalahkan buruh migrant.
Kesulitan dan diskriminasi yang mereka peroleh dianggap sebagai kewajaran dan
kesalahan mereka sendiri. Sering muncul ungkapan, “salah sendiri perempuan
kerja di luar negeri”, “siapa suruh mata duitan nyari duit kerja di sana” dan beragam
istilah lain yang menyakitkan.
Jika cara pandang
bangsa dan negara ini terhadap buruh migrant tidak berubah, maka nasib
merekapun sulit berubah. Kalau saja Negara ini mampu memenuhi kewajibannya
mewujudkan masyarakat adil dan makmur tentu mereka tidak perlu menjadi buruh
dan mempermalukan diri di Negara lain. Ini adalah persoalan bersama yang harus
diatasi. Negara harus mampu memberikan hak warganya untuk memperoleh hidup
layak. Bekerja di luar negeri sebagai tenaga informal semestinya tidak menjadi
pilihan jika kebutuhan mereka bisa tercukupi.
Kasus Minah, Wilfrida
dan buruh migrant lainnya semestinya menjadi cermin dan cambuk bagi pemerintah,
masyarakat dan kita semua untuk meningkatkan kepedulian dan kemauan untuk
membangun bangsa ini. Kekayaan alam kita melimpah tetapi hanya menumpuk dan
dinikmati segelintir orang. Posisi pekerjaan banyak tetapi diserahkan kepada
orang asing. Muaranya adalah maraknya diskriminasi dalam mengakses sumber
ekonomi, pendidikan dan kesempatan berkembang. Hal ini harus dikikis habis
karena segenap potensi yang dimiliki bangsa ini bukanlah milik individu atau
golongan tetapi menjadi hak semua warga Negara.
No comments:
Post a Comment