Sudah
lama kritik diberikan terhadap model seleksi masuk perguruan tinggi negeri yang
ada sekarang ini. Model seleksi seperti SPMB atau dulu dikenal dengan UMPTN
dianggap belum mampu memenuhi harapan perguruan tinggi untuk mendapatkan
mahasiswa berkualitas sesuai kriteria yang diinginkan. Model SPMB yang terpusat
dalam proses seleksi dan penerimaan membuat PT tidak punya pilihan selain
menerima begitu saja mahasiswa yang lolos seleksi meskipun kualitasnya tidak
sesuai harapan.
Ketidakpuasan
PT dengan model SPMB, diwujudkan dengan menggelar ujian masuk lokal yang
dianggap lebih baik dalam upaya mendapat mahasiswa berkualitas. Beberapa perguruan
tinggi yang telah punya nama bahkan telah melaksanakan ujian masuk lokal jauh
hari sebelum pelaksanaan SPMB. Pertanyaannya, benarkah model seleksi seperti
SPMB sudah tidak relevan lagi, atau ujian masuk lokal hanya kedok dari PT untuk
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari proses pendaftaran?
Kalau
kita cermati, ada beberapa kelemahan dalam sistem seleksi lokal sehingga model
ini belum layak untuk menggantikan SPMB. Beberapa kelemahan tersebut
diantaranya pertama, tidak adanya standar kualitas ujian masuk lokal
yang sama sehingga memberi peluang merosotnya kualitas PT. Dalam SPMB, soal
dibuat dengan standar kualitas nasional sehingga mereka yang lolos seleksi memiliki
kemampuan intelektual yang relatif setara. Beda halnya dengan ujian masuk
lokal. Mereka yang lolos masuk universitas A bisa jadi tidak cukup berkualitas
untuk masuk univertas B, sehingga kesenjangan kualitas antar PT sangat mungkin
terjadi.
Kedua,
dengan kewenangan yang demikian besar bagi PT untuk menyeleksi dan menerima
mahasiswa baru memungkinkan semakin suburnya praktek KKN. Dalam SPMB, mahasiswa
yang diterima tidak menjalin hubungan langsung dengan PT pilihannya ketika
proses seleksi. Lain halnya dengan ujian lokal dimana peserta ujian diketahui
dengan persis oleh PT penyelenggara. Inilah yang membuka lebar praktek KKN
dalam proses penerimaan. Kalau sudah begini keinginan untuk mendapatkan
mahasiswa yang berkualitas tidak lebih sekedar kedok untuk mengeruk keuntungan
dari proses pendaftaran. Selain itu, kewenangan yang demikian besar pada PT
membuat calon mahasiswa baru tidak berdaya ketika berhadapan dengan tingginya
biaya pendidikan yang ditetapkan. Pada akhirnya kesempatan rakyat miskin untuk
bisa kuliah semakin tipis.
Ketiga,
ujian masuk lokal tidak mencerminkan keadilan dalam dunia pendidikan. Proses
seleksi yang hanya dilaksanakan di kota
tertentu, akan membatasi kesempatan calon mahasiswa yang ingin masuk PT. Jarak
tempat tinggal yang jauh dari tempat ujian membuat mereka tidak berkesempatan
mengikuti seleksi. kuliah. Coba bayangkan untuk bisa kuliah di Jawa seorang
calon mahasiswa di Irian harus menempuh jarak begitu jauh guna mengikuti
seleksi.
Mencermati
berbagai kelemahan sistem seleksi lokal tersebut perlu kiranya dirumuskan suatu
model seleksi lain yang memenuhi standar kualitas, mencerminkan keadilan dan
mempersempit praktek KKN. Menurut penulis ada dua model seleksi yang bisa
digunakan dalam proses penjaringan mahasiswa baru yaitu model penjenjangan dan
SPMB plus.
Model
penjenjangan sudah lama dipraktekkan di luar negeri. Proses seleksi ke PT telah
dimulai dengan penjenjangan di tingkat sekolah menengah. Saat pendaftaran ke
PT, penerimaan mahasiswa baru dilakukan dengan model gabungan passing grade,
kuota dan tes kompetensi dasar logika bahasa dan logika matematika. Untuk
program tertentu seperti kedokteran berlaku seleksi numerus klausus yang
sangat ketat. Hanya 10% terpandai lulusan SLTA di tingkat nasional boleh
mendaftar. Jika setelah test jumlah 10%
itu masih melebihi kuota, maka diberlakukan lotre.
Untuk
mendukung model ini memerlukan persiapan dari sistem pendidikan di tingkat SLTA
mengingat sekolah menengah di Indonesia
hanya dua macam yaitu sekolah umum dan kejuruan. Kedepan perlu dipikirkan agar
sejak masih SLTA siswa sudah diarahkan sesuai bakatnya sehingga ketika ingin
meneruskan ke PT bisa mengikuti sistem penjenjangan. Model ini jelas
membutuhkan persiapan yang cukup, terutama dari sistem pendidikan di tingkat
menengah.
Model
seleksi kedua adalah menambah SPMB
dengan ujian menulis/mengarang dan wawancara. Sistem SPMB yang merupakan
gabungan sistem passing grade dan kuota mungkin bagus namun belum
menjamin mutu mahasiswa yang diterima. Untuk itu, tambahan ujian
menulis/mengarang dan wawancara diharapkan dapat menutupi kelemahan yang ada. Ujian menulis/mengarang
dan wawancara kiranya dapat diterapkan untuk meningkatkan daya saing seleksi
gabungan sistem passing grade dan kuota. Dari ujian menulis/mengarang
dapat diketahui otentisitas, kemampuan mengembangkan dan mengorganisasikan ide
serta penguasaan bahasa yang merupakan dasar sikap kritis dan daya analitis
No comments:
Post a Comment