Sunday, July 14, 2013

Sekolah Internasional dan Pendidikan Murah


            Perkembangan sekolah internasional di Indonesia semakin marak tiap tahunnya. Tidak hanya terbatas di kota-kota metropolitan seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sekolah internasional juga berkembang di daerah-daerah. Pada awalnya keberadaan sekolah ini ditujukan untuk melayani pendidikan anak-anak ekspatriat yang bekerja di Indonesia. Seiring berkembangnya waktu sekolah premium ini ternyata juga diminati oleh masyarakat yang memiliki kemampuan finansial cukup dan menginginkan  pendidikan berkualitas global untuk anak-anak mereka.
Sebagian masyarakat berpendapat kehadiran sekolah internasional akan membawa dampak positif bagi dunia pendidikan di Indonesia. Hadirnya sekolah dengan kualitas standar internasional diharapkan bisa meningkatkan mutu pendidikan nasional dan menghadirkan persaingan sehat antar lembaga pendidikan. Kehadiran pesaing yang bermutu akan memacu sekolah-sekolah lokal untuk meningkatkan mutu pengajarannya agar tetap eksis. Selain itu, kalangan pendidik di Indonesia juga berkesempatan untuk menimba ilmu dan pengalaman dari para pendidik sekolah internasional.
Di lain pihak tidak sedikit masyarakat terutama kalangan pendidik lokal yang menganggap kehadiran sekolah internasional sebagai ancaman bagi keberadaan sekolah lokal dan pendidikan nasional pada umumnya. Hadirnya sekolah internasional yang menawarkan sistem pendidikan lebih baik membuat banyak orang tua siswa berpaling dari sekolah lokal. Berpalingya para orang tua ke sekolah internasional tentunya mengancam eksistensi dari sekolah  lokal terutama yang dikelola swasta.
Lebih lanjut mereka memandang kehadiran sekolah internasional juga menjadi ancaman bagi pendidikan nasional pada umumnya. Mereka beralasan, kehadiran sekolah internasional akan semakin mengkotak-kotak pendidikan untuk si kaya dan si miskin. Keadaan seperti ini membuat anak-anak yang sekolah di sekolah internasional kehilangan kepekaan sosial. Kebiasaan bergaul dengan teman-teman sebaya dari kalangan mampu membuat mereka tidak peka melihat kemiskinan di sekitarnya. Kalau sudah begini misi pendidikan untuk menghadirkan sosok manusia yang berkemampuan utuh tentu tidak tercapai. Secara akademik mereka pintar, tetapi tidak memiliki kecerdasan untuk menangkap fenomena sosial ditengah masyarakat.
Disamping itu model sekolah premium juga akan memicu maraknya komersialisasi pendidikan. Tingginya minat orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah internasional mengilhami sekolah-sekolah lokal untuk berlomba-lomba memperbaiki sitem pengajaran, meningkatkan mutu, melengkapi sarana prasarana pendidikan kemudian menjualnya dengan harga mahal. Maka pendidikanpun hadir menjadi arena dagang yang menggiurkan.
Terlepas dari pro kontra tersebut menurut penulis menarik untuk dikaji keberadaan sekolah internasional ditengah patologi pendidikan kita. Fenomena kemiskinan, rendahnya kesejahteraan guru, diskriminasi, kekerasan, dan perdebatan hal-hal yang tidak substansial adalah pekerjaan rumah yang harus dibenahi dari dunia pendidikan kita.  
Belum hilang dari ingatan kita kenekadan Eko Haryanto, siswa SDN Kepundahan, Kabupaten Tegal Jawa Tengah, yang memutuskan untuk bunuh diri karena malu ditagih biaya sekolah yang telah nunggak beberapa bulan.. Meskipun aksinya tersebut tidak berhasil, tetapi latar belakang kenekadannya tentu menjadi keprihatinan kita bersama. Pendidikan yang semestinya menjadi hak setiap warga negara ini ternyata masih menjadi barang mahal bagi masyarakat miskin. Tidak hanya Eko, di berbagai derah lain masih banyak anak-anak usia sekolah yang terancam drop out karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Di Semarang, seorang guru tega memukul anak didiknya karena dianggap melakukan tindakan asusila. Kemiskinan dan kekerasan ternyata adalah dua hal yang mendominasi wajah pendidikan kita.
Janji pemerintah untuk memberikan pendidikan murah bagi masyarakat miskin seperti yang mereka teriakkan waktu kampanye pemilu lalu ternyata masih sebatas retorika politik belaka. Demikian halnya dengan dalih ketika menaikkan harga BBM dimana dana kompensasinya akan diberikan untuk sektor pendidikan sampai saat inipun tidak jelas kemana larinya. Melihat kondisi demikian muncul pertanyaan yang menggelitik benak kita, mungkinkah memberikan pendidikan murah dan bermutu dengan tetap memperhatikan kearifan lokal bagi rakyat Indonesia?. Apakah benar bahwa berkualitas itu harus selalu mahal dan bertaraf internasional.
Cobalah tengok kiprah Aktifis Front Perjuangan Rakyat Miskin yang menyelenggarakan sekolah rakyat ditengah perkampungan Nelayan Tambaklorok Semarang. Dengan segala keterbatasan yang ada tidak membuat mereka mundur untuk memberikan pendidikan gratis dan bermutu bagi masyarakat miskin. Contoh lain adalah sekolah alternatif Al Qaryah Tayyibah di Salatiga yang berangkat dari keprihatinan tidak adanya pendidikan murah dan bermutu untuk rakyat miskin (Kompas,3/5/05). Sekolah yang berada di kaki Gunung Merbabu ini memberikan fasilitas intenet bagi siswa-siswanya. Meskipun tidak gratis, tetapi orang tua siswa tidak dibebani dengan jumlah uang sekolah yang mencekik. Mereka bebas menyumbang berapapun sesuai kemampuan, bahkan nol sekalipun tidak masalah. Hal ini tentu berbeda dengan semua sekolah bermutu yang selalu identik dengan biaya mahal sehingga tidak memberi kesempatan orang miskin untuk menikimatinya.
Jika Aktifis Front Perjuangan Rakyat Miskin dan sekolah alternatif Al Qaryah Tayyibah mampu memberikan pendidkan murah dan bermutu bagi masyarakat, mengapa pemerintah tidak. Jangan-jangan masalahnya sebatas rendahnya komitmen, kesungguhan dan kemauan dari pemerintah untuk berusaha. Sebagai gambaran hasil Susenas menunjukkan rata-rata biaya pendidikan per bulan untuk setingkat SD sebesar Rp.26.500,00, setingkat SMP Rp.66.000,00 dan setingkat SLTA Rp.116.000,00. Sedangkan besar Bantuan Khusus Murid (BKM) untuk tingkat SD Rp.25.000,00, tingkat SMP Rp.65.000,00,  dan tingkat SLTA Rp.120.000,00. Jika saja mekanisme penyaluran BKM berjalan dengan benar dan menjangkau segenap lapisan rakyat miskin tentu kekhawatiran terjadinya siswa putus sekolah dapat dihilangkan.
Kemiskinan yang menjadikan siswa putus sekolah berperan signifikan bagi merosotnya mutu pendidikan nasional. Hasil survey Human Development Index (HDI) menempatkan Indonesia dibawah Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, Filiphina bahkan Vietnam. Kemerosotan mutu pendidikan nasional selain disebabkan oleh tingginya angka putus sekolah juga disebabkan rendahnya mutu guru, mengingat guru memegang peran strategis dalam pendidikan. Rendahnya kesejahteraan yang mereka terima membuat guru tak sempat meningkatkan kualitas keilmuannya. Jangankan menyisihkan uang untuk membeli buku, bisa menyekolahkan anak saja sudah beruntung.
Dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta dalam rangka Hardiknas seorang guru di Surabaya mengungkapkan keluhan-keluhannya seputar nasib guru. Ia menceritakan beberapa teman seprofesinya terpaksa harus nyambi menjadi sopir antar jemput, tukang ojek, dan pekerjaan lainnya selepas mengajar agar kebutuhan keluarga tercukupi. Ironi lainnya adalah nasib guru bantu di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang pembayaran gajinya terlambat selama dua bulan. Gaji sebesar Rp.460.000,00/bulan yang semestinya mereka terima pada bulan Februari dan Maret ternyata baru dibayarkan di bulan April.
Guru di Indonesia ibarat ironi lilin yang menerangi kegelapan. Ibarat lilin kecil, guru menerangi kebodohan dengan ilmunya, menghasilkan para ahli dan orang-orang sukses tetapi mereka sendiri akhirnya meleleh habis. Gaji kecil membuat guru tak bisa memperhatikan kondisi keluarga mereka, dimana pendidikan anak-anaknya justru terancam putus. Kondisi demikian yang seringkali memicu guru melakukan "pelacuran pendidikan". Guru menjual nilai dengan kedok les, menjual soal ujian, atau terlibat "mafia" pengadaan buku adalah ekses negatif dari rendahnya kesejahteraan mereka selain masalah moral tentunya. Desakan kebutuhan yang kian menghimpit dan rengekan anak istri bisa membuat mental mereka jatuh dan keteguhan hati merekapun luluh. Mereka hanyalah manusia biasa seperti kita sehingga tak jarang terpaksa menjual apa yang mereka punya untuk memenuhi kebutuhan sementara gaji tak mencukupi.
Sebagian orang bahkan ada yang sangat satire menyebutkan sekarang ini generasi muda Indonesia diambang kehancuran. Bagaimana tidak, jika pendidikan yang merupakan investasi SDM justru diabaikan. Kita tahu kegagalan mendidik generasi muda sama dengan membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Sebuah pepatah mengatakan, bangsa yang memiliki generasi muda andal yang akan memiliki masa depan.
Disini kita pertanyakan lagi komitmen pemerintah dalam menangani masalah pendidikan. Alokasi 20 % APBN untuk sektor pendidikan harus segera direalisasikan. Keseriusan pemerintah untuk menangani masalah pendidikan adalah solusi yang realistis untuk menyelamatkan dunia pendidikan kita. Jangan sampai terlambat selagi masih ada kesempatan untuk memperbaiki diri.

Pendidikan murah dan berkualitas bukan sekedar utopia jika kita mau berusaha mewujudkannya. Permasalahannya terletak dari keseriusan pemerintah dalam menanganinya. Jika sebagian masyarakat kita sudah sadar dan bergeliat untuk mewujudkan pendidikan murah dan berkualitas tentunya pemerintah harus lebih lebar membuka mata dan mengasah kepekaan. Apa yang dilakukan aktifis Front Perjuangan Rakyat Miskin yang menyelenggarakan sekolah rakyat maupun keberadaan sekolah alternatif Al Qaryah Tayyibah semestinya bisa memberi inspirasi bahwa mewujudkan pendidikan yang murah dan berkualitas untuk rakyat miskin bukanlah hal mustahil. Pendidikan bagi sebuah bangsa bukan semata-mata mencetak anak didik yang memiliki kemampuan akademis saja tetapi juga sarana mewariskan nilai-nilai, budaya, sejarah, dan adat istiadat yang menjadi jatidiri suatu bangsa. Ketika pendidikan telah menjadi ajang komersial maka dengan sendirinya tujuan pendidikan bagi sebuah bangsa tidak akan tercapai.

2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete