Perkembangan sekolah
internasional di Indonesia semakin marak tiap tahunnya. Tidak hanya terbatas di
kota-kota metropolitan seperti Jakarta ,
Bandung , dan Surabaya , sekolah
internasional juga berkembang di daerah-daerah. Pada awalnya keberadaan sekolah
ini ditujukan untuk melayani pendidikan anak-anak ekspatriat yang bekerja di Indonesia .
Seiring berkembangnya waktu sekolah premium ini ternyata juga diminati oleh masyarakat
yang memiliki kemampuan finansial cukup dan menginginkan pendidikan berkualitas global untuk anak-anak
mereka.
Sebagian
masyarakat berpendapat kehadiran sekolah internasional akan membawa dampak
positif bagi dunia pendidikan di Indonesia. Hadirnya sekolah dengan kualitas
standar internasional diharapkan bisa meningkatkan mutu pendidikan nasional dan
menghadirkan persaingan sehat antar lembaga pendidikan. Kehadiran pesaing yang
bermutu akan memacu sekolah-sekolah lokal untuk meningkatkan mutu pengajarannya
agar tetap eksis. Selain itu, kalangan pendidik di Indonesia juga berkesempatan untuk
menimba ilmu dan pengalaman dari para pendidik sekolah internasional.
Di
lain pihak tidak sedikit masyarakat terutama kalangan pendidik lokal yang
menganggap kehadiran sekolah internasional sebagai ancaman bagi keberadaan
sekolah lokal dan pendidikan nasional pada umumnya. Hadirnya sekolah
internasional yang menawarkan sistem pendidikan lebih baik membuat banyak orang
tua siswa berpaling dari sekolah lokal. Berpalingya para orang tua ke sekolah
internasional tentunya mengancam eksistensi dari sekolah lokal terutama yang dikelola swasta.
Lebih lanjut
mereka memandang kehadiran sekolah internasional juga menjadi ancaman bagi
pendidikan nasional pada umumnya. Mereka beralasan, kehadiran sekolah
internasional akan semakin mengkotak-kotak pendidikan untuk si kaya dan si
miskin. Keadaan seperti ini membuat anak-anak yang sekolah di sekolah
internasional kehilangan kepekaan sosial. Kebiasaan bergaul dengan teman-teman
sebaya dari kalangan mampu membuat mereka tidak peka melihat kemiskinan di
sekitarnya. Kalau sudah begini misi pendidikan untuk menghadirkan sosok manusia
yang berkemampuan utuh tentu tidak tercapai. Secara akademik mereka pintar,
tetapi tidak memiliki kecerdasan untuk menangkap fenomena sosial ditengah masyarakat.
Disamping
itu model sekolah premium juga akan memicu maraknya komersialisasi pendidikan. Tingginya
minat orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah internasional mengilhami
sekolah-sekolah lokal untuk berlomba-lomba memperbaiki sitem pengajaran,
meningkatkan mutu, melengkapi sarana prasarana pendidikan kemudian menjualnya
dengan harga mahal. Maka pendidikanpun hadir menjadi arena dagang yang
menggiurkan.
Terlepas
dari pro kontra tersebut menurut penulis menarik untuk dikaji keberadaan
sekolah internasional ditengah patologi pendidikan kita. Fenomena kemiskinan,
rendahnya kesejahteraan guru, diskriminasi, kekerasan, dan perdebatan hal-hal yang
tidak substansial adalah pekerjaan rumah yang harus dibenahi dari dunia
pendidikan kita.
Belum
hilang dari ingatan kita kenekadan Eko Haryanto, siswa SDN Kepundahan,
Kabupaten Tegal Jawa Tengah, yang memutuskan untuk bunuh diri karena malu
ditagih biaya sekolah yang telah nunggak beberapa bulan.. Meskipun aksinya
tersebut tidak berhasil, tetapi latar belakang kenekadannya tentu menjadi
keprihatinan kita bersama. Pendidikan yang semestinya menjadi hak setiap warga
negara ini ternyata masih menjadi barang mahal bagi masyarakat miskin. Tidak
hanya Eko, di berbagai derah lain masih banyak anak-anak usia sekolah yang
terancam drop out karena tidak mampu membayar biaya pendidikan. Di
Semarang, seorang guru tega memukul anak didiknya karena dianggap melakukan
tindakan asusila. Kemiskinan dan kekerasan ternyata adalah dua hal yang
mendominasi wajah pendidikan kita.
Janji
pemerintah untuk memberikan pendidikan murah bagi masyarakat miskin seperti
yang mereka teriakkan waktu kampanye pemilu lalu ternyata masih sebatas
retorika politik belaka. Demikian halnya dengan dalih ketika menaikkan harga
BBM dimana dana kompensasinya akan diberikan untuk sektor pendidikan sampai
saat inipun tidak jelas kemana larinya. Melihat kondisi demikian muncul
pertanyaan yang menggelitik benak kita, mungkinkah memberikan pendidikan murah
dan bermutu dengan tetap memperhatikan kearifan lokal bagi rakyat Indonesia ?.
Apakah benar bahwa berkualitas itu harus selalu mahal dan bertaraf
internasional.
Cobalah
tengok kiprah Aktifis Front Perjuangan Rakyat Miskin yang menyelenggarakan
sekolah rakyat ditengah perkampungan Nelayan Tambaklorok Semarang. Dengan
segala keterbatasan yang ada tidak membuat mereka mundur untuk memberikan
pendidikan gratis dan bermutu bagi masyarakat miskin. Contoh lain adalah sekolah
alternatif Al Qaryah Tayyibah di Salatiga yang berangkat dari keprihatinan
tidak adanya pendidikan murah dan bermutu untuk rakyat miskin (Kompas,3/5/05 ). Sekolah yang berada
di kaki Gunung Merbabu ini memberikan fasilitas intenet bagi siswa-siswanya. Meskipun
tidak gratis, tetapi orang tua siswa tidak dibebani dengan jumlah uang sekolah
yang mencekik. Mereka bebas menyumbang berapapun sesuai kemampuan, bahkan nol
sekalipun tidak masalah. Hal ini tentu berbeda dengan semua sekolah bermutu yang
selalu identik dengan biaya mahal sehingga tidak memberi kesempatan orang
miskin untuk menikimatinya.
Jika Aktifis
Front Perjuangan Rakyat Miskin dan sekolah alternatif Al Qaryah Tayyibah mampu
memberikan pendidkan murah dan bermutu bagi masyarakat, mengapa pemerintah
tidak. Jangan-jangan masalahnya sebatas rendahnya komitmen, kesungguhan dan
kemauan dari pemerintah untuk berusaha. Sebagai gambaran hasil Susenas
menunjukkan rata-rata biaya pendidikan per bulan untuk setingkat SD sebesar
Rp.26.500,00, setingkat SMP Rp.66.000,00 dan setingkat SLTA Rp.116.000,00.
Sedangkan besar Bantuan Khusus Murid (BKM) untuk tingkat SD Rp.25.000,00,
tingkat SMP Rp.65.000,00, dan tingkat
SLTA Rp.120.000,00. Jika saja mekanisme penyaluran BKM berjalan dengan benar
dan menjangkau segenap lapisan rakyat miskin tentu kekhawatiran terjadinya siswa
putus sekolah dapat dihilangkan.
Kemiskinan
yang menjadikan siswa putus sekolah berperan signifikan bagi merosotnya mutu
pendidikan nasional. Hasil survey Human Development Index (HDI)
menempatkan Indonesia
dibawah Singapura , Malaysia , Brunei , Thailand ,
Filiphina bahkan Vietnam .
Kemerosotan mutu pendidikan nasional selain disebabkan oleh tingginya angka
putus sekolah juga disebabkan rendahnya mutu guru, mengingat guru memegang
peran strategis dalam pendidikan. Rendahnya kesejahteraan yang mereka terima membuat
guru tak sempat meningkatkan kualitas keilmuannya. Jangankan menyisihkan uang
untuk membeli buku, bisa menyekolahkan anak saja sudah beruntung.
Dalam
sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi swasta dalam rangka Hardiknas seorang
guru di Surabaya mengungkapkan keluhan-keluhannya seputar nasib guru. Ia
menceritakan beberapa teman seprofesinya terpaksa harus nyambi menjadi sopir
antar jemput, tukang ojek, dan pekerjaan lainnya selepas mengajar agar
kebutuhan keluarga tercukupi. Ironi lainnya adalah nasib guru bantu di Jawa
Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang pembayaran gajinya terlambat selama
dua bulan. Gaji sebesar Rp.460.000,00/bulan yang semestinya mereka terima pada
bulan Februari dan Maret ternyata baru dibayarkan di bulan April.
Guru di
Indonesia ibarat ironi lilin yang menerangi kegelapan. Ibarat lilin kecil, guru
menerangi kebodohan dengan ilmunya, menghasilkan para ahli dan orang-orang
sukses tetapi mereka sendiri akhirnya meleleh habis. Gaji kecil membuat guru
tak bisa memperhatikan kondisi keluarga mereka, dimana pendidikan anak-anaknya
justru terancam putus. Kondisi demikian yang seringkali memicu guru melakukan "pelacuran
pendidikan". Guru menjual nilai dengan kedok les, menjual soal ujian, atau
terlibat "mafia" pengadaan buku adalah ekses negatif dari rendahnya
kesejahteraan mereka selain masalah moral tentunya. Desakan kebutuhan yang kian
menghimpit dan rengekan anak istri bisa membuat mental mereka jatuh dan
keteguhan hati merekapun luluh. Mereka hanyalah manusia biasa seperti kita
sehingga tak jarang terpaksa menjual apa yang mereka punya untuk memenuhi
kebutuhan sementara gaji tak mencukupi.
Sebagian
orang bahkan ada yang sangat satire menyebutkan sekarang ini generasi muda Indonesia
diambang kehancuran. Bagaimana tidak, jika pendidikan yang merupakan investasi
SDM justru diabaikan. Kita tahu kegagalan mendidik generasi muda sama dengan
membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Sebuah pepatah mengatakan, bangsa yang
memiliki generasi muda andal yang akan memiliki masa depan.
Disini
kita pertanyakan lagi komitmen pemerintah dalam menangani masalah pendidikan.
Alokasi 20 % APBN untuk sektor pendidikan harus segera direalisasikan. Keseriusan
pemerintah untuk menangani masalah pendidikan adalah solusi yang realistis
untuk menyelamatkan dunia pendidikan kita. Jangan sampai terlambat selagi masih
ada kesempatan untuk memperbaiki diri.
Pendidikan
murah dan berkualitas bukan sekedar utopia jika kita mau berusaha
mewujudkannya. Permasalahannya terletak dari keseriusan pemerintah dalam
menanganinya. Jika sebagian masyarakat kita sudah sadar dan bergeliat untuk
mewujudkan pendidikan murah dan berkualitas tentunya pemerintah harus lebih
lebar membuka mata dan mengasah kepekaan. Apa yang dilakukan aktifis Front
Perjuangan Rakyat Miskin yang menyelenggarakan sekolah rakyat maupun keberadaan
sekolah alternatif Al Qaryah Tayyibah semestinya bisa memberi inspirasi bahwa
mewujudkan pendidikan yang murah dan berkualitas untuk rakyat miskin bukanlah hal
mustahil. Pendidikan bagi sebuah bangsa bukan semata-mata mencetak anak didik yang
memiliki kemampuan akademis saja tetapi juga sarana mewariskan nilai-nilai,
budaya, sejarah, dan adat istiadat yang menjadi jatidiri suatu bangsa. Ketika
pendidikan telah menjadi ajang komersial maka dengan sendirinya tujuan
pendidikan bagi sebuah bangsa tidak akan tercapai.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete