Ketika
mendengar istilah MOS atau Ospek yang terlintas dalam benak kita adalah
bayangan buruk tentang tindakan perploncoan yang dilakukan oleh siswa yang
lebih senior kepada adik kelasnya yang baru masuk. Setiap tahun ajaran baru,
keduanya menjadi bahan pro dan kontra yang tidak pernah habis diperdebatkan.
Masing-masing pihak baik yang pro maupun yang kontra mengajukan argumentasi
yang menguatkan pendapat masing-masing. Pandangan buruk terhadap MOS maupun
Ospek tidak lepas dari tindakan-tindakan kekerasan yang seringkali mengiringi
dan menjadi bumbu acara ini. Siawa baru terkadang disuruh melakukan sesuatu
atau membawa barang-barang sesuai kehendak seniornya meskipun barang itu sulit
didapat. Bagi mereka yang tidak mampu memenuhi sudah jelas akan mendapat
hukuman dari seniornya baik sekedar hukuman ringan seperti disuruh menyanyi,
menari bahkan sampai hukuman fisik seperti lari keliling lapangan dan bahkan
pemukulan. Dalam acara seperti itu, berlaku dua aturan tidak tertulis yang
ditetapkan senior dan menjadi acuan tindakan mereka yaitu pertama, senior tidak
pernah salah dan kedua apabila senior salah lihatlah aturan pertama. Keduanya
mengindikasikan arogansi senioritas dan upaya pembenaran tindakan diri sendiri.
Semua tindak kesalahan adalah tanggungjawab junior sehingga tidak mengherankan
meskipun mereka sudah memenuhi segala tugas yang dibebankan seniornya kesalahan
tetap saja dicari-cari pada dirinya. Hal-hal seperti itulah yang membuat
gambaran MOS dan Ospek di benak kita menjadi demikian buruk, meskipun pada
kenyataannya hal tersebut merupakan bagian kecil dari rangkaian kegiatan secara
keseluruhan. Tindakan perploncoan yang seringkali membumbui acara itu meskipun
dalam persentase yang kecil seakan menjadi ikon yang mewakili acara itu secara
keseluruhan.
Gencarnya
pemberitaan tentang tindak penyelewengan tersebut telah menutupi pandangan
sebagian besar orang untuk bisa memandang secara objektif acara MOS dan Ospek
secara menyeluruh. Seakan sudah cukup ikon perploncoan yang hanya beberapa
persen dari keseluruhan proses acara dijadikan sebagai bahan untuk menilai baik
dan buruknya acara-acara itu. Stigmatisasi istilah perploncoan pada MOS dan Ospek
telah mengaburkan pandangan dan penilaian secara objektif terhadap keduanya.
Semestinya dicermati secara menyeluruh apa tujuan dan regulasi dari
penyelenggaraannya kemudian melakukan verifikasi terhadap acara secara
menyeluruh pula baru bisa kita memberi penilaian apakah MOS dan Ospek merupakan
kegiatan perploncoan ataukah acara positif yang ditunggangi
kepentingan-kepentingan orang tak bertanggungjawab. Dengan demikian kita tidak
mudah terjebak pada prasangka dan penilaian terburu-buru dan terpancing tindakan
emosional dalam menyikapinya.
MOS/Ospek tidak sama
dengan perploncoan.
Tidak
dipungkiri memang jika dalam penyelenggaraan MOS/Ospek seringkali ada beberapa
tindakan kekerasan dari senior kepada juniornya, tetapi apakah hal itu berarti
kegiatan ini sama dengan perploncoan yang kita kenal dahulu. Kegiatan
perploncoan bagi siswa atau mahasiswa baru pernah terkenal pada era 80an. Dalam
masa itu memang banyak kekerasan secara fisik yang menimpa murid baru. Akan
tetapi seiring perubahan dan perkembangan paradigma pendidikan maka acara
perploncoan dihapuskan dan diganti dengan acara orientasi siswa baru. Menilik
tujuannya, acara ini sebenarnya positif yaitu memberi bekal dan mengenalkan
lingkungan sekolah yang baru agar siswa
baru bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Diharapkan hal ini akan
memudahkan mereka untuk mengikuti sistem belajar yang berbeda dari sekolah mereka sebelumnya. Masa orientasi
biasanya dikemas dalam program ilmiah yang melibatkan tenaga guru atau dosen
dalam berbagai bentuk seperti ceramah ilmiah, seminar dan sebagainya. Para siswa baru juga berkesempatan mendapat bimbingan
positif dari seniornya tentang berbagai hal terkait kegiatan belajar di sekolah
barunya. Dengan bimbingan ini juga menjalin keakraban antar angkatan sehingga
tidak terjadi gap pergaulan antara siswa baru dan siswa lama. Suasana yang
akrab dan menyenangkan di lingkungan sekolah akan membuat siswa lebih
termotivasi untuk belajar.
Selain
itu ada beberapa sekolah yang memanfaatkan masa orientasi untuk menanamkan
nilai-nilai sosial, meningkatkan kepedulian terhadap sesama, mendekatkan murid
baru dengan realita masyarakat dan membimbing siswa dalam menyikapi berbagai
fenomena yang ada disekitarnya. Hal ini merupakan pelajaran berharga yang sulit
mereka dapat ketika sudah masuk dan duduk di ruang kelas, karena mereka akan
lebih banyak diarahkan untuk menghapal rumus ini, menyelesaikan soal itu yang
seringkali jauh dari realitas kehidupan mereka. Diharapkan dari kegiatan
tersebut akan lahir siswa-siswa maksimalis yang tidak hanya memiliki kemampuan
akademik tetapi juga kedewasaan berfikir dan kearifan bertindak sehingga
mereka tidak menjadi manusia-manusia
pintar tetapi penuh kecongkakan dalam memandang sesamanya.
Beberapa
contoh kegiatan sosial yang dilakukan oleh sekolah dalam masa orientasi adalah
ajakan kepada para murid baru untuk membantu sesamanya dalam berbagai bentuk
sesuai kemampuannya. Para murid baru diajak
untuk mengumpulkan pakaian bekas layak
pakai, mie instant, alat tulis atau yang lainnya untuk kemudian disumbangkan
kepada mereka yang membutuhkan. Hal ini sangat membantu menumbuhkan kepekaan
mereka untuk ikut merasakan apa yang terjadi pada saudara-saudara mereka.
Ketika sebagian siswa baru begitu senang dengan sekolah barunya atau baju dan
perlengkapan sekolahnya yang juga baru, di tempat lain teman-teman sebaya
mereka harus menghadapi cobaan tidak bisa sekolah. Banyak dari mereka yang
terpaksa tidak bisa sekolah karena gedung sekolahnya roboh atau digusur, rumahnya kebakaran sehingga
perlengkapan sekolah musnah, tidak memiliki biaya bahkan juga terpaksa tidak berani sekolah karena
daerahnya dilanda konflik berkepanjangan yang tak tahu kapan selesainya. Dengan
mendekatkan para siswa baru dengan realitas sosial yang ada dihadapan mereka,
yang menimpa sebagian teman-teman mereka diharapkan dapat menumbuhkan empati
pada diri mereka untuk ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Inilah
semestinya yang harus dicapai oleh dunia pendidikan kita menciptakan pribadi
utuh jasmani rohani.
Guna
mengikis gambaran buruk tentang masa orientasi siswa baru semestinya acara
MOS/Ospek lebih banyak muatan ilmiahnya dan menghapus berbagai acara yang
berpotensi dijadikan acang kekerasan. Langkah ini merupakan langkah preventif
yang semestinya dikedepankan oleh pihak sekolah untuk mengikis habis tindakan
perploncoan dari siswa senior terhadap juniornya. Selama ini masalah pengawasan
dari pihak sekolah yang dirasa kurang terhadap pelaksanaan masa orientasi
disinyalir menjadikan praktek perploncoan ini susah dihilangkan. Untuk itu
sekolah dan segenap civitas akademika didalamnya mesti memberikan perhatian dan
pengawasan lebih intens terhadap berbagai kegiatan di masa orientasi ini.
Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan segelintir orang dengan
mengatasnamakan acara MOS atau Ospek harus dihapus dari dunia pendidikan kita.
Kekerasan dalam bentuk apapun hanya akan menimbulkan kerugian dalam berbagai
bentuk bagi mereka yang mengalaminya. Dunia pendidikan semestinya jauh dan
steril dari praktek-praktek kekerasan ini.
Pada akhirnya acara MOS/Ospek semestinya dipandang secara objektif dan menyeluruh sehingga tidak muncul
stigmatisasi negatif bahwa MOS/Ospek sama dengan perploncoan. Hal ini akan
mengakibatkan tujuan positif yang ada di dalamnya akan menjadi hilang begitu
saja. Tidak dipungkiri memang ada penyelewengan di dalamnya, tetapi
penyelewengan itu yang harus dihapus bukan acaranya.
No comments:
Post a Comment