Thursday, July 18, 2013

Takut Dengan MOS

Ketika mendengar istilah MOS atau Ospek yang terlintas dalam benak kita adalah bayangan buruk tentang tindakan perploncoan yang dilakukan oleh siswa yang lebih senior kepada adik kelasnya yang baru masuk. Setiap tahun ajaran baru, keduanya menjadi bahan pro dan kontra yang tidak pernah habis diperdebatkan. Masing-masing pihak baik yang pro maupun yang kontra mengajukan argumentasi yang menguatkan pendapat masing-masing. Pandangan buruk terhadap MOS maupun Ospek tidak lepas dari tindakan-tindakan kekerasan yang seringkali mengiringi dan menjadi bumbu acara ini. Siawa baru terkadang disuruh melakukan sesuatu atau membawa barang-barang sesuai kehendak seniornya meskipun barang itu sulit didapat. Bagi mereka yang tidak mampu memenuhi sudah jelas akan mendapat hukuman dari seniornya baik sekedar hukuman ringan seperti disuruh menyanyi, menari bahkan sampai hukuman fisik seperti lari keliling lapangan dan bahkan pemukulan. Dalam acara seperti itu, berlaku dua aturan tidak tertulis yang ditetapkan senior dan menjadi acuan tindakan mereka yaitu pertama, senior tidak pernah salah dan kedua apabila senior salah lihatlah aturan pertama. Keduanya mengindikasikan arogansi senioritas dan upaya pembenaran tindakan diri sendiri. Semua tindak kesalahan adalah tanggungjawab junior sehingga tidak mengherankan meskipun mereka sudah memenuhi segala tugas yang dibebankan seniornya kesalahan tetap saja dicari-cari pada dirinya. Hal-hal seperti itulah yang membuat gambaran MOS dan Ospek di benak kita menjadi demikian buruk, meskipun pada kenyataannya hal tersebut merupakan bagian kecil dari rangkaian kegiatan secara keseluruhan. Tindakan perploncoan yang seringkali membumbui acara itu meskipun dalam persentase yang kecil seakan menjadi ikon yang mewakili acara itu secara keseluruhan.
Gencarnya pemberitaan tentang tindak penyelewengan tersebut telah menutupi pandangan sebagian besar orang untuk bisa memandang secara objektif acara MOS dan Ospek secara menyeluruh. Seakan sudah cukup ikon perploncoan yang hanya beberapa persen dari keseluruhan proses acara dijadikan sebagai bahan untuk menilai baik dan buruknya acara-acara itu. Stigmatisasi istilah perploncoan pada MOS dan Ospek telah mengaburkan pandangan dan penilaian secara objektif terhadap keduanya. Semestinya dicermati secara menyeluruh apa tujuan dan regulasi dari penyelenggaraannya kemudian melakukan verifikasi terhadap acara secara menyeluruh pula baru bisa kita memberi penilaian apakah MOS dan Ospek merupakan kegiatan perploncoan ataukah acara positif yang ditunggangi kepentingan-kepentingan orang tak bertanggungjawab. Dengan demikian kita tidak mudah terjebak pada prasangka dan penilaian terburu-buru dan terpancing tindakan emosional dalam menyikapinya.
MOS/Ospek tidak sama dengan perploncoan.
Tidak dipungkiri memang jika dalam penyelenggaraan MOS/Ospek seringkali ada beberapa tindakan kekerasan dari senior kepada juniornya, tetapi apakah hal itu berarti kegiatan ini sama dengan perploncoan yang kita kenal dahulu. Kegiatan perploncoan bagi siswa atau mahasiswa baru pernah terkenal pada era 80an. Dalam masa itu memang banyak kekerasan secara fisik yang menimpa murid baru. Akan tetapi seiring perubahan dan perkembangan paradigma pendidikan maka acara perploncoan dihapuskan dan diganti dengan acara orientasi siswa baru. Menilik tujuannya, acara ini sebenarnya positif yaitu memberi bekal dan mengenalkan lingkungan sekolah yang baru  agar siswa baru bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Diharapkan hal ini akan memudahkan mereka untuk mengikuti sistem belajar yang berbeda dari  sekolah mereka sebelumnya. Masa orientasi biasanya dikemas dalam program ilmiah yang melibatkan tenaga guru atau dosen dalam berbagai bentuk seperti ceramah ilmiah, seminar dan sebagainya. Para siswa baru juga berkesempatan mendapat bimbingan positif dari seniornya tentang berbagai hal terkait kegiatan belajar di sekolah barunya. Dengan bimbingan ini juga menjalin keakraban antar angkatan sehingga tidak terjadi gap pergaulan antara siswa baru dan siswa lama. Suasana yang akrab dan menyenangkan di lingkungan sekolah akan membuat siswa lebih termotivasi untuk belajar.
Selain itu ada beberapa sekolah yang memanfaatkan masa orientasi untuk menanamkan nilai-nilai sosial, meningkatkan kepedulian terhadap sesama, mendekatkan murid baru dengan realita masyarakat dan membimbing siswa dalam menyikapi berbagai fenomena yang ada disekitarnya. Hal ini merupakan pelajaran berharga yang sulit mereka dapat ketika sudah masuk dan duduk di ruang kelas, karena mereka akan lebih banyak diarahkan untuk menghapal rumus ini, menyelesaikan soal itu yang seringkali jauh dari realitas kehidupan mereka. Diharapkan dari kegiatan tersebut akan lahir siswa-siswa maksimalis yang tidak hanya memiliki kemampuan akademik tetapi juga kedewasaan berfikir dan kearifan bertindak sehingga mereka  tidak menjadi manusia-manusia pintar tetapi penuh kecongkakan dalam memandang sesamanya.
Beberapa contoh kegiatan sosial yang dilakukan oleh sekolah dalam masa orientasi adalah ajakan kepada para murid baru untuk membantu sesamanya dalam berbagai bentuk sesuai kemampuannya. Para murid baru diajak untuk  mengumpulkan pakaian bekas layak pakai, mie instant, alat tulis atau yang lainnya untuk kemudian disumbangkan kepada mereka yang membutuhkan. Hal ini sangat membantu menumbuhkan kepekaan mereka untuk ikut merasakan apa yang terjadi pada saudara-saudara mereka. Ketika sebagian siswa baru begitu senang dengan sekolah barunya atau baju dan perlengkapan sekolahnya yang juga baru, di tempat lain teman-teman sebaya mereka harus menghadapi cobaan tidak bisa sekolah. Banyak dari mereka yang terpaksa tidak bisa sekolah karena gedung sekolahnya roboh  atau digusur, rumahnya kebakaran sehingga perlengkapan sekolah musnah, tidak memiliki biaya bahkan juga  terpaksa tidak berani sekolah karena daerahnya dilanda konflik berkepanjangan yang tak tahu kapan selesainya. Dengan mendekatkan para siswa baru dengan realitas sosial yang ada dihadapan mereka, yang menimpa sebagian teman-teman mereka diharapkan dapat menumbuhkan empati pada diri mereka untuk ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Inilah semestinya yang harus dicapai oleh dunia pendidikan kita menciptakan pribadi utuh jasmani rohani.
Guna mengikis gambaran buruk tentang masa orientasi siswa baru semestinya acara MOS/Ospek lebih banyak muatan ilmiahnya dan menghapus berbagai acara yang berpotensi dijadikan acang kekerasan. Langkah ini merupakan langkah preventif yang semestinya dikedepankan oleh pihak sekolah untuk mengikis habis tindakan perploncoan dari siswa senior terhadap juniornya. Selama ini masalah pengawasan dari pihak sekolah yang dirasa kurang terhadap pelaksanaan masa orientasi disinyalir menjadikan praktek perploncoan ini susah dihilangkan. Untuk itu sekolah dan segenap civitas akademika didalamnya mesti memberikan perhatian dan pengawasan lebih intens terhadap berbagai kegiatan di masa orientasi ini. Tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan segelintir orang dengan mengatasnamakan acara MOS atau Ospek harus dihapus dari dunia pendidikan kita. Kekerasan dalam bentuk apapun hanya akan menimbulkan kerugian dalam berbagai bentuk bagi mereka yang mengalaminya. Dunia pendidikan semestinya jauh dan steril dari praktek-praktek kekerasan ini.

Pada akhirnya acara MOS/Ospek semestinya dipandang secara objektif  dan menyeluruh sehingga tidak muncul stigmatisasi negatif bahwa MOS/Ospek sama dengan perploncoan. Hal ini akan mengakibatkan tujuan positif yang ada di dalamnya akan menjadi hilang begitu saja. Tidak dipungkiri memang ada penyelewengan di dalamnya, tetapi penyelewengan itu yang harus dihapus bukan acaranya. 

No comments:

Post a Comment