Oleh: Imam Asy-Syafi’i
Biarkanlah hari-hari berbuat semaunya
Berlapang dada-lah jika takdir menimpa
Berlapang dada-lah jika takdir menimpa
Jangan berkeluh-kesah atas musibah di malam hari
Tiada musibah yang kekal di muka bumi
Jadilah laki-laki tegar dalam menghadapi tragedi
Berlakulah pema’af selalu menepati janji
Tiada musibah yang kekal di muka bumi
Jadilah laki-laki tegar dalam menghadapi tragedi
Berlakulah pema’af selalu menepati janji
Bulan suci ramadhan kembali menghampiri kita tahun ini. Umat islam di
berbagai tempat menyambutnya dengan gembira. Seperti tahun-tahun sebelumnya
semarak ramadhan terjadi di berbagai tempat. Di banyak masjid, gang, mushalla,
tempat-tempat umum, kampus maupun perkantoran terpampang spanduk yang berisikan
ucapan menyambut datangnya bulan penuh berkah ini. Beragam kegiatan telah
direncanakan untuk menyemarakkan bulan suci ini.
Masjid dan mushalla yang pada hari-hari biasa sepi akan segera penuh
sesak dengan jamaah yang datang untuk menunaikan ibadah shalat tarawih bersama.
Di bulan yang penuh keutamaan ini nampaknya setiap muslim tidak mau ketinggalan
untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Tidak salah memang jika umat islam
menyambut datangnya ramadhan dengan suka cita, karena di bulan yang mulia ini
merupakan kesempatan untuk memperbanyak amalan dan mendulang keutamaan sebanyak
mungkin.
Amal kebajikan yang dilakukan seorang muslim di bulan ini akan dilipatgandakan
pahalanya dibanding amalan-amalan di bulan lain. Sehingga sangat disayangkan
jika seoarang muslim tidak memanfaatkan kesempatan di bulan puasa ini untuk
berbuat kebajikan sebanyak mungkin.
Jamaknya tempat lain, semarak ramadhan juga terjadi di kampus. Segenap
civitas akademis kampus tidak mau ketinggalan untuk ikut menyemarakkan bulan
ini. Beragam kegiatan seperti buka puasa bersama, kajian agama, bazar amal,
shalat tarawih bersama, tabligh akbar, seminar dan sebagainya begitu mewarnai
suasana ramadhan di kampus. Suasana kampus yang biasanya kering dari sentuhan
nilai-nilai spiritual menjadi begitu berbeda di bulan suci ini.
Masyarakat kampus yang biasanya larut dalam pergulatan intelektual yang
seringkali mengabaikan sisi-sisi spiritual seakan terpanggil kembali untuk
mengisi kebutuhan ruhaniahnya. Kampus pun menjadi layaknya pesantren dadakan
bagi para penghuninya.
Nilai
Sosial Puasa
Secara bahasa puasa sering diartikan sebagai upaya menahan diri. Tentu
saja bukan hanya menahan diri dari makan, minum, dan perbuatan-perbuatan yang
membatalkan puasa lainnya, tetapi juga merupakan sarana berlatih untuk menahan
diri dari hawa nafsu. Tujuan mulia lainnya dari ibadah puasa adalah menggugah
kepedulian dan kepekaan terhadap keberadaan kaum fakir miskin dan orang-orang
yang membutuhkan bantuan. Ibadah puasa di bulan ramadhan adalah ibadah yang
memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri dibanding ibadah-ibadah lainnya.
Tidak seperti ibadah lainnya, ibadah puasa memiliki dimensi sosial tersendiri yang
terdapat dibalik hikmah pensyariatannya.
Dimensi sosial dibalik pensyariatan ibadah puasa yaitu dengan puasa
diharapkan lahirnya rasa persamaan, kesejajaran, kepedulian dan kebersamaan
diantara sesama umat islam. Umat islam adalah umat yang sama, makan pada waktu
yang sama dan berpuasa pada waktu yang sama pula. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan antara si kaya dan si miskin dalam menjalankan ibadah ini. Tidak
seperti ibadah haji misalnya yang hanya disyariatkan bagi mereka yang memiliki
kemampuan secara finansial, ibadah puasa tidak mensyaratkan hal itu.
Si kaya yang terbiasa berkecukupan
akan merasakan bagaimana susahnya menahan rasa lapar dan dahaga yang dialami
oleh mereka yang kekurangan. Sehingga pada akhirnya timbul kasih sayang
diantara sesama umat. Setiap muslim semestinya ingat bahwa ibadah puasa yang
dilakukannya memiliki fungsi sosial. Dengan puasa, seseorang akan lebih sadar
dengan penderitaan fakir miskin yang hidup dalam kekurangan.
Kesadaran terhadap hal itu akan mendorong semangat untuk membantu
meringankan beban sesamanya. Kalau sebelum ramadhan biasanya orang pelit untuk
bersedekah dengan datangnya bulan ini merubahnya menjadi seorang yang dermawan.
Bila ingat fungsi sosial tersebut tampaknya tidak wajar jika seorang yang
berpuasa hanya ingat terhadap fakir miskin ketika siang hari saja ketika ia
menahan lapar sementara di malam harinya ia terlelap dalam kekenyangan. Pada
akhirnya diharapkan tumbuhnya kepekaan, kepedulian dan empati terhadap keadaan
orang lain di sekitarnya. Selain itu puasa bisa melahirkan ketaqwaan yang mana
hal tersebut akan memperkuat hubungan antar individu dalam masyarakat.
Dalam konteks kehidupan kampus,
upaya pembinaan kepekaan sosial yang ada di bulan puasa ini merupakan sesuatu
yang sangat relevan. Komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan semakin
mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi dengan sendirinya telah
mempersempit kesempatan orang-orang yang tidak berdaya secara finansial untuk
memperoleh hak yang sama dalam menempuh pendidikan. Pada akhirnya kondisi ini
akan menciptakan kesenjangan dan jarak antara dunia kampus dengan masyarakat di
sekitarnya. Kesan yang muncul kemudian kampus seolah menjadi arena tak
tersentuh bagi mereka yang tidak mampu.
Kondisi seperti ini mau tidak mau
akan sangat mempengaruhi interaksi sosial dunia kampus dengan realitas sosial
di sekitarnya. Akibatnya, jarak semakin jauh dan kepekaan sosial civitas
akademika kampus terhadap kondisi sosial yang ada di masyarakat menjadi
berkurang. Dengan sistem pendidikan model pabrik yang hanya mengedepankan sisi hardskill
semata sulit untuk mengharapkan lahirnya sosok mahasiswa dan sarjana yang
memiliki kepekaan sosial tinggi.
Pada kenyataanya seringkali lulusan perguruan tinggi menjadi
sarjana-sarjana yang gagap atau bahkan tidak mampu menangkap realitas sosial
dalam masyarakatnya. Kurangnya kepekaan untuk menangkap realitas sosial yang
ada dalam masyarakatnya membuat mereka tidak mampu bersikap kritis terhadap
kondisi sebagian masyarakat yang masih kekurangan.
Yang menjadi pertanyaan kemudian
adalah mengapa bulan ramadhan yang datang setiap tahun dan disambut dengan
meriah di kampus tidak juga mampu mengatasi kondisi ini, bukankah ibadah puasa
memiliki dimensi sosial yang besar. Mengapa seringkali puasa tidak berhasil
untuk melatih kepekaan sosial yang diharapkan?.
Ketika ramadhan kesadaran kita untuk peduli dan peka terhadap kondisi
sesama demikian tinggi tetapi mengapa setelah ramadhan lewat kesadaran itupun
seperti lenyap tertiup angin. Kita seolah kembali menjadi pribadi-pribadi yang
acuh terhadap kondisi sesama kita. Kedermawanan, kepedulian dan kepekaan
terhadap kondisi masyarakat seolah-olah hanya diperlukan ketika berada di bulan
ramadhan. Pada akhirnya kampuspun kembali menjadi menara gading yang terpaut
begitu jauh dengan realitas di sekitarnya.
Keadaan tersebut terjadi karena
kesalahan dari sebagian kita dalam memaknai arti ibadah puasa itu sendiri.
Tidak dipungkiri kalau ibadah puasa masih sering dipandang sebagai ritual tahan
lapar dan haus saja. Pemahaman seperti ini tentu saja tidak akan mampu
mengantarkan orang yang menjalankan ibadah puasa kepada hikmah yang ada dibalik
pensyariatannya.
Sebagai contoh adalah mereka yang berpuasa tetapi tidak ada perubahan
dalam soal makan. Ketika berbuka puasa ia menyantap hidangan secara berlebihan,
sehingga acara berbuka pun menjadi ajang balas dendam setelah seharian tidak
makan. Orang seperti ini hari-hari puasanya hanya dipenuhi dengan pikiran untuk
mempersiapkan menu dan masakan apa untuk berbuka nanti. Jadi bagaimana bisa ia
merasakan susahnya orang miskin yang menderita kelaparan jika puasanya tidak
lebih menjadi ajang memindahkan jam makan saja.
Contoh yang lain adalah sebagian orang yang berpuasa dan menghabiskan
waktunya dengan bermalas-malasan tanpa
aktivitas. Waktu puasanya tidak jauh-jauh dari nonton TV atau main game, jadi
bagaimana orang seperti ini bisa terbina kepekaan sosialnya jika ia tidak
pernah merasa kepayahan.
Nabi sendiri telah memperingatkan dan mengkategorikan orang-orang yang demikian
itu sebagai orang-orang yang rugi. Kerugian di akherat jelas kelak mereka tidak
akan mendapat keutamaan yang dijanjikan sedangkan di dunia mereka rugi karena
tidak berhasil menempa dirinya menjadi orang yang memiliki kepekaan sosial
tinggi. Mereka gagal untuk belajar menjadi orang yang berarti bagi sesamanya.
Melatih dan membina kepekaan sosial
melalui ibadah puasa di bulan ramadhan menjadi demikian relevan ditengah
kondisi masyarakat kita yang semakin acuh tak acuh. Kemampuan kampus dalam
menjalankan salah satu tri darma perguruan tinggi yaitu pengabdian masyarakat
sangat dipengaruhi oleh kepekaan dari segenap civitas akademikanya dalam
menagkap realitas sosial yang ada di sekelilingnya.
Ramadhan di kampus dengan segala
semarak acaranya diharapkan tidak hanya aktifitas rutin belaka yang kosong tanpa
makna. Lebih jauh kegiatan ramadhan di kampus seyogyanya diarahkan dan
dijadikan momentum untuk melatih dan membina kepekaan sosial segenap
komponennya. Ramadhan di kampus dengan segala pernak-pernik di dalamnya
semestinya dijadikan ajang pembinaan dan peningkatan ketaqwaan menuju
pembentukan sosok mahasiswa yang utuh. Seorang mahasiswa yang tidak hanya
memiliki kemampuan hardskill sesuai kompetensinya tetapi juga sosok yang
memiliki kepekaan sosial tinggi.
Kegiatan ibadah puasa yang
dirangkaikan dengan perayaan 'iedul fitri yang disertai pembagian zakat fitrah
merupakan rangkaian pendidikan mental untuk melatih kepekaan sosial. Pendidikan
yang telah didapat selama bulan ramadhan akan dapat dilihat hasilnya pada
sebelas bulan berikutnya. Masa itu merupakan ajang implementasi dari pendidikan
yang telah didapat. Mereka yang belajar di bulan ini akan dapat dilihat
hasilnya sementara bagi yang enggan untuk belajar ia akan kembali menjadi sosok
yang tidak berbeda seperti sebelum ramadhan. Artinya ia menjadi orang yang gagal
menempa diri untuk menjadi seorang yang lebih berguna bagi sesamanya.
No comments:
Post a Comment