Sunday, July 21, 2013

UPAYA MEMBINA KEPEKAAN SOSIAL

Oleh: Imam Asy-Syafi’i

Biarkanlah hari-hari berbuat semaunya
Berlapang dada-lah jika takdir menimpa

Jangan berkeluh-kesah atas musibah di malam hari
Tiada musibah yang kekal di muka bumi
Jadilah laki-laki tegar dalam menghadapi tragedi
Berlakulah pema’af selalu menepati janji


Bulan suci ramadhan kembali menghampiri kita tahun ini. Umat islam di berbagai tempat menyambutnya dengan gembira. Seperti tahun-tahun sebelumnya semarak ramadhan terjadi di berbagai tempat. Di banyak masjid, gang, mushalla, tempat-tempat umum, kampus maupun perkantoran terpampang spanduk yang berisikan ucapan menyambut datangnya bulan penuh berkah ini. Beragam kegiatan telah direncanakan untuk menyemarakkan bulan suci ini.
Masjid dan mushalla yang pada hari-hari biasa sepi akan segera penuh sesak dengan jamaah yang datang untuk menunaikan ibadah shalat tarawih bersama. Di bulan yang penuh keutamaan ini nampaknya setiap muslim tidak mau ketinggalan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Tidak salah memang jika umat islam menyambut datangnya ramadhan dengan suka cita, karena di bulan yang mulia ini merupakan kesempatan untuk memperbanyak amalan dan mendulang keutamaan sebanyak mungkin.
Amal kebajikan yang dilakukan seorang muslim di bulan ini akan dilipatgandakan pahalanya dibanding amalan-amalan di bulan lain. Sehingga sangat disayangkan jika seoarang muslim tidak memanfaatkan kesempatan di bulan puasa ini untuk berbuat kebajikan sebanyak mungkin.
Jamaknya tempat lain, semarak ramadhan juga terjadi di kampus. Segenap civitas akademis kampus tidak mau ketinggalan untuk ikut menyemarakkan bulan ini. Beragam kegiatan seperti buka puasa bersama, kajian agama, bazar amal, shalat tarawih bersama, tabligh akbar, seminar dan sebagainya begitu mewarnai suasana ramadhan di kampus. Suasana kampus yang biasanya kering dari sentuhan nilai-nilai spiritual menjadi begitu berbeda di bulan suci ini.
Masyarakat kampus yang biasanya larut dalam pergulatan intelektual yang seringkali mengabaikan sisi-sisi spiritual seakan terpanggil kembali untuk mengisi kebutuhan ruhaniahnya. Kampus pun menjadi layaknya pesantren dadakan bagi para penghuninya.
Nilai Sosial Puasa
Secara bahasa puasa sering diartikan sebagai upaya menahan diri. Tentu saja bukan hanya menahan diri dari makan, minum, dan perbuatan-perbuatan yang membatalkan puasa lainnya, tetapi juga merupakan sarana berlatih untuk menahan diri dari hawa nafsu. Tujuan mulia lainnya dari ibadah puasa adalah menggugah kepedulian dan kepekaan terhadap keberadaan kaum fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan bantuan. Ibadah puasa di bulan ramadhan adalah ibadah yang memiliki keunikan dan karakteristik tersendiri dibanding ibadah-ibadah lainnya. Tidak seperti ibadah lainnya, ibadah puasa memiliki dimensi sosial tersendiri yang terdapat dibalik hikmah pensyariatannya.
Dimensi sosial dibalik pensyariatan ibadah puasa yaitu dengan puasa diharapkan lahirnya rasa persamaan, kesejajaran, kepedulian dan kebersamaan diantara sesama umat islam. Umat islam adalah umat yang sama, makan pada waktu yang sama dan berpuasa pada waktu yang sama pula. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin dalam menjalankan ibadah ini. Tidak seperti ibadah haji misalnya yang hanya disyariatkan bagi mereka yang memiliki kemampuan secara finansial, ibadah puasa tidak mensyaratkan hal itu.
            Si kaya yang terbiasa berkecukupan akan merasakan bagaimana susahnya menahan rasa lapar dan dahaga yang dialami oleh mereka yang kekurangan. Sehingga pada akhirnya timbul kasih sayang diantara sesama umat. Setiap muslim semestinya ingat bahwa ibadah puasa yang dilakukannya memiliki fungsi sosial. Dengan puasa, seseorang akan lebih sadar dengan penderitaan fakir miskin yang hidup dalam kekurangan. 
Kesadaran terhadap hal itu akan mendorong semangat untuk membantu meringankan beban sesamanya. Kalau sebelum ramadhan biasanya orang pelit untuk bersedekah dengan datangnya bulan ini merubahnya menjadi seorang yang dermawan. Bila ingat fungsi sosial tersebut tampaknya tidak wajar jika seorang yang berpuasa hanya ingat terhadap fakir miskin ketika siang hari saja ketika ia menahan lapar sementara di malam harinya ia terlelap dalam kekenyangan. Pada akhirnya diharapkan tumbuhnya kepekaan, kepedulian dan empati terhadap keadaan orang lain di sekitarnya. Selain itu puasa bisa melahirkan ketaqwaan yang mana hal tersebut akan memperkuat hubungan antar individu dalam masyarakat.
            Dalam konteks kehidupan kampus, upaya pembinaan kepekaan sosial yang ada di bulan puasa ini merupakan sesuatu yang sangat relevan. Komersialisasi pendidikan yang ditandai dengan semakin mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi dengan sendirinya telah mempersempit kesempatan orang-orang yang tidak berdaya secara finansial untuk memperoleh hak yang sama dalam menempuh pendidikan. Pada akhirnya kondisi ini akan menciptakan kesenjangan dan jarak antara dunia kampus dengan masyarakat di sekitarnya. Kesan yang muncul kemudian kampus seolah menjadi arena tak tersentuh bagi mereka yang tidak mampu.
            Kondisi seperti ini mau tidak mau akan sangat mempengaruhi interaksi sosial dunia kampus dengan realitas sosial di sekitarnya. Akibatnya, jarak semakin jauh dan kepekaan sosial civitas akademika kampus terhadap kondisi sosial yang ada di masyarakat menjadi berkurang. Dengan sistem pendidikan model pabrik yang hanya mengedepankan sisi hardskill semata sulit untuk mengharapkan lahirnya sosok mahasiswa dan sarjana yang memiliki kepekaan sosial tinggi.
Pada kenyataanya seringkali lulusan perguruan tinggi menjadi sarjana-sarjana yang gagap atau bahkan tidak mampu menangkap realitas sosial dalam masyarakatnya. Kurangnya kepekaan untuk menangkap realitas sosial yang ada dalam masyarakatnya membuat mereka tidak mampu bersikap kritis terhadap kondisi sebagian masyarakat yang masih kekurangan.
            Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa bulan ramadhan yang datang setiap tahun dan disambut dengan meriah di kampus tidak juga mampu mengatasi kondisi ini, bukankah ibadah puasa memiliki dimensi sosial yang besar. Mengapa seringkali puasa tidak berhasil untuk melatih kepekaan sosial yang diharapkan?.
Ketika ramadhan kesadaran kita untuk peduli dan peka terhadap kondisi sesama demikian tinggi tetapi mengapa setelah ramadhan lewat kesadaran itupun seperti lenyap tertiup angin. Kita seolah kembali menjadi pribadi-pribadi yang acuh terhadap kondisi sesama kita. Kedermawanan, kepedulian dan kepekaan terhadap kondisi masyarakat seolah-olah hanya diperlukan ketika berada di bulan ramadhan. Pada akhirnya kampuspun kembali menjadi menara gading yang terpaut begitu jauh dengan realitas di sekitarnya.
            Keadaan tersebut terjadi karena kesalahan dari sebagian kita dalam memaknai arti ibadah puasa itu sendiri. Tidak dipungkiri kalau ibadah puasa masih sering dipandang sebagai ritual tahan lapar dan haus saja. Pemahaman seperti ini tentu saja tidak akan mampu mengantarkan orang yang menjalankan ibadah puasa kepada hikmah yang ada dibalik pensyariatannya.
Sebagai contoh adalah mereka yang berpuasa tetapi tidak ada perubahan dalam soal makan. Ketika berbuka puasa ia menyantap hidangan secara berlebihan, sehingga acara berbuka pun menjadi ajang balas dendam setelah seharian tidak makan. Orang seperti ini hari-hari puasanya hanya dipenuhi dengan pikiran untuk mempersiapkan menu dan masakan apa untuk berbuka nanti. Jadi bagaimana bisa ia merasakan susahnya orang miskin yang menderita kelaparan jika puasanya tidak lebih menjadi ajang memindahkan jam makan saja.
Contoh yang lain adalah sebagian orang yang berpuasa dan menghabiskan waktunya  dengan bermalas-malasan tanpa aktivitas. Waktu puasanya tidak jauh-jauh dari nonton TV atau main game, jadi bagaimana orang seperti ini bisa terbina kepekaan sosialnya jika ia tidak pernah merasa kepayahan.
Nabi sendiri telah memperingatkan dan mengkategorikan orang-orang yang demikian itu sebagai orang-orang yang rugi. Kerugian di akherat jelas kelak mereka tidak akan mendapat keutamaan yang dijanjikan sedangkan di dunia mereka rugi karena tidak berhasil menempa dirinya menjadi orang yang memiliki kepekaan sosial tinggi. Mereka gagal untuk belajar menjadi orang yang berarti bagi sesamanya.
            Melatih dan membina kepekaan sosial melalui ibadah puasa di bulan ramadhan menjadi demikian relevan ditengah kondisi masyarakat kita yang semakin acuh tak acuh. Kemampuan kampus dalam menjalankan salah satu tri darma perguruan tinggi yaitu pengabdian masyarakat sangat dipengaruhi oleh kepekaan dari segenap civitas akademikanya dalam menagkap realitas sosial yang ada di sekelilingnya.
            Ramadhan di kampus dengan segala semarak acaranya diharapkan tidak hanya aktifitas rutin belaka yang kosong tanpa makna. Lebih jauh kegiatan ramadhan di kampus seyogyanya diarahkan dan dijadikan momentum untuk melatih dan membina kepekaan sosial segenap komponennya. Ramadhan di kampus dengan segala pernak-pernik di dalamnya semestinya dijadikan ajang pembinaan dan peningkatan ketaqwaan menuju pembentukan sosok mahasiswa yang utuh. Seorang mahasiswa yang tidak hanya memiliki kemampuan hardskill sesuai kompetensinya tetapi juga sosok yang memiliki kepekaan sosial tinggi.
            Kegiatan ibadah puasa yang dirangkaikan dengan perayaan 'iedul fitri yang disertai pembagian zakat fitrah merupakan rangkaian pendidikan mental untuk melatih kepekaan sosial. Pendidikan yang telah didapat selama bulan ramadhan akan dapat dilihat hasilnya pada sebelas bulan berikutnya. Masa itu merupakan ajang implementasi dari pendidikan yang telah didapat. Mereka yang belajar di bulan ini akan dapat dilihat hasilnya sementara bagi yang enggan untuk belajar ia akan kembali menjadi sosok yang tidak berbeda seperti sebelum ramadhan. Artinya ia menjadi orang yang gagal menempa diri untuk menjadi seorang yang lebih berguna bagi sesamanya.


No comments:

Post a Comment