Representasi dalam dunia fiksi menandakan keberadaan sosial: ketidakhadiran berarti simbol kelenyapan. Terperangkap dalam suatu peristiwa dan menjadi korban oleh seseorang menandakan ketidakberdayaan sosial; kemampuan untuk merangkul suatu peristiwa, untuk bertindak bebas, secara tegas, dan efektif adalah tanda-tanda dari kepentingan dramatis dan kekuatan sosial. Nilai-nilai dan kekuatan-kekuatan masuk dalam permainan melalui karakterisasi; bagus adalah tipe tertentu dari ketertarikan; jahat adalah kepribadian yang rusak, dan kebenaran adalah kekuatan yang pasti menang. Jalan cerita membentuk suatu hal penyebab menjadi sebuah aturan dramatis. Kekerasan menjadi kunci penting di dunia fiksi semacam itu. Sebab itu merupakan arti dari dramatis yang sederhana dan murah untuk menunjukkan aturan dari permainan kekuatan. Dalam sebuah kehidupan nyata, kekerasan cenderung halus, pelan, kecil, tidak kelihatan bahkan impersonal. Melawan dengan kekerasan fisik dalam kehidupan nyata sangatlah jarang bahkan lebih membuat sakit daripada membuat takut. Akan tetapi dalam dunia simbol, keterbukaan dari gerak fisik membuat dramatisasi terlihat daripada kehidupan nyata yang cenderung tersembunyi. Simbol kekerasan seperti pamer kekuatan, membuat kejahatan yang sebenarnya menjadi lebih gampang untuk dilakukan dan tentunya menghibur (Gerbner & Gross,1981:246).
Kemudian Nimmo yang disunting Jalaludin Rakhmat bahwa dalam komunikasi orang bertukar citra ataupun makna. Makna ini dituangkan melalui lambang-lambang sehingga unsur primer dalam pembicaraan ini adalah lambang, hal yang dilambangkan dan interpretasi yang menciptakan lambang yang bermakna (Liliweri,1991:23-24). Penggambaran kekerasan dapat diperlihatkan dengan cara membunuh dan interpretasi pembunuhan tersebut salah satunya dengan menusukkan pedang.
Pada dasarnya suatu teks film merupakan akumulasi dari ide-ide banyak orang dan ditujukan pula pada banyak orang. Oleh sebab itu film seringkali dinyatakan sebagai gambaran dari realita yang sedang berlaku ditengah-tengah masyarakat sehingga banyak orang yang lalu tidak dapat memisahkan antara realita dengan penggambaran-penggambaran di dalam teks media film. Pada tahapan konotatif, produksi makna dari suatu teks film pada umumnya menghasilkan sesuatu yang bersifat kultural bahkan ideologis (Gurevitch dalam skripsi Ravianto 2001:10), dalam hal ini teks yang disajikan dalam anime Rurouni Kenshin banyak mengandung kalimat yang bermuatan tentang arti hidup seperti tujuan hidup, keyakinan diri, kehidupan dengan sesama dan nilai-nilai dalam kehidupan seperti kasih sayang, persahabatan, pengkhianatan. Hal inilah yang memberikan aspek kultur yang berbeda dengan film-film kartun animasi milik Amerika.
Pada dasarnya suatu teks film merupakan akumulasi dari ide-ide banyak orang dan ditujukan pula pada banyak orang. Oleh sebab itu film seringkali dinyatakan sebagai gambaran dari realita yang sedang berlaku ditengah-tengah masyarakat sehingga banyak orang yang lalu tidak dapat memisahkan antara realita dengan penggambaran-penggambaran di dalam teks media film. Pada tahapan konotatif, produksi makna dari suatu teks film pada umumnya menghasilkan sesuatu yang bersifat kultural bahkan ideologis (Gurevitch dalam skripsi Ravianto 2001:10), dalam hal ini teks yang disajikan dalam anime Rurouni Kenshin banyak mengandung kalimat yang bermuatan tentang arti hidup seperti tujuan hidup, keyakinan diri, kehidupan dengan sesama dan nilai-nilai dalam kehidupan seperti kasih sayang, persahabatan, pengkhianatan. Hal inilah yang memberikan aspek kultur yang berbeda dengan film-film kartun animasi milik Amerika.
Film anime Jepang menitikberatkan pada kesungguhan diri, hati nurani serta perjuangan dalam hidup yang tentunya berbeda dengan film kartun Amerika yang berusaha menampilkan kisah heroisme dan kehebatan diri. Dalam menyampaikan pesannya, film dalam konteksnya sebagai media komunikasi massa sering menggunakan bentuk-bentuk simbolik.
Analisis dari pesan-pesan media massa cukup penting bagi suatu komunikasi massa yang dapat dipahami, karena manusia punya kecenderungan untuk menganggap pesan makna adalah sesuatu yang terjadi dengan semestinya (Woollacott dalam skripsi Esther 1999:1). Jadi dalam hal ini anime menyampaikan pesan kepada audiensnya diwarnai juga dengan perilaku pro-sosial dan juga anti-sosial.
Analisis dari pesan-pesan media massa cukup penting bagi suatu komunikasi massa yang dapat dipahami, karena manusia punya kecenderungan untuk menganggap pesan makna adalah sesuatu yang terjadi dengan semestinya (Woollacott dalam skripsi Esther 1999:1). Jadi dalam hal ini anime menyampaikan pesan kepada audiensnya diwarnai juga dengan perilaku pro-sosial dan juga anti-sosial.
Segala perilaku yang dilakukan manusia terbentuk karena adanya proses internal dalam diri organisme seperti pikiran / kognisi, afeksi dan kemampuan. Perilaku atau perbuatan seseorang disebabkan oleh suatu esensi dari manusia dan akan tampak bila manusia berhubungan dengan manusia lain dalam kontak sosial. Sarwono (1983:16) mendefinisikan bahwa perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan individu yang satu dengan yang lain. Sehubungan dengan hal tersebut dikatakan Toha (1986:35) bahwa perilaku manusia adalah sebagai suatu fungsi dari antara individu dengan lingkungan. Perilaku tidak hanya terdiri dari tindakan-tindakan yang tak nampak/internal.
Sears (1988:138) mengatakan bahwa perilaku merupakan kesiapan individu untuk bersikap terhadap obyek. Perilaku terbentuk karena adanya sikap dalam diri seseorang terhadap obyek. Senada dengan pendapat tersebut Lindgren & Byrne (1971:691) mendefinisikan perilaku sebagai suatu aksi yang ditampilkan individu. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh individu yang dapat diamati atau diobservasi.
Mengenai perilaku pro-sosial yang terdapat pada tayangan televisi menurut beberapa pendapat para ahli perilaku pro-sosial dapat didefinisikan berbagai macam, perilaku pro-sosial secara sederhana diartikan sebagai perilaku yang memberi keuntungan pada orang lain (Staub,1978:2). Perilaku pro-sosial sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari (Sears,1991:48). Perilaku pro-sosial ini meliputi altruisme, saling membantu, saling menghibur, persahabatan, pertolongan, penyelamatan, perngorbanan, kemurahan hati, saling membagi dan cara menanggapi orang lain dengan simpati dan wujud kerjasama. Kemudian perilaku pro-sosial dapat juga diartikan sebagai perilaku sukarela yang dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan orang lain atau kelompok lain (Raven & Rubin,1983:309). Selain itu perilaku pro-sosial dipandang juga dari segi moralitas, moralitas yang dimaksud adalah yang mengarah pada kesejahteraan orang lain sehingga perilaku pro-sosial diartikan sebagai tindakan yang mengarah pada kesejahteraan orang lain meliputi kerjasama, dermawan dan menolong (Berndt,1992:637). Hal serupa juga dikemukakan oleh Sears bahwa perilaku pro-sosial meliputi tindakan menolong atau yang direncanakan untuk menolong orang lain (Sears,1994:404).
Perilaku pro-sosial menurut Gerungan (1991:63) mencakup perilaku yang menguntungkan orang lain yang mempunyai konsekuensi sosial yang positif sehingga akan menambah kebaikan fisik maupun psikis. Hal ini selaras dengan pendapat William (1981:97) bahwa perilaku pro-sosial merupakan perilaku untuk mengubah keadaan fisik/psikologis orang lain dari kondisi yang kurang menguntungkan menjadi sesuatu yang lebih menguntungkan sehingga penolong akan merasa bahwa penerima menjadi lebih sejahtera/puas secara materiil/ psikologis.
Mengenai perilaku pro-sosial yang terdapat pada tayangan televisi menurut beberapa pendapat para ahli perilaku pro-sosial dapat didefinisikan berbagai macam, perilaku pro-sosial secara sederhana diartikan sebagai perilaku yang memberi keuntungan pada orang lain (Staub,1978:2). Perilaku pro-sosial sebenarnya merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari (Sears,1991:48). Perilaku pro-sosial ini meliputi altruisme, saling membantu, saling menghibur, persahabatan, pertolongan, penyelamatan, perngorbanan, kemurahan hati, saling membagi dan cara menanggapi orang lain dengan simpati dan wujud kerjasama. Kemudian perilaku pro-sosial dapat juga diartikan sebagai perilaku sukarela yang dilakukan dengan maksud untuk menguntungkan orang lain atau kelompok lain (Raven & Rubin,1983:309). Selain itu perilaku pro-sosial dipandang juga dari segi moralitas, moralitas yang dimaksud adalah yang mengarah pada kesejahteraan orang lain sehingga perilaku pro-sosial diartikan sebagai tindakan yang mengarah pada kesejahteraan orang lain meliputi kerjasama, dermawan dan menolong (Berndt,1992:637). Hal serupa juga dikemukakan oleh Sears bahwa perilaku pro-sosial meliputi tindakan menolong atau yang direncanakan untuk menolong orang lain (Sears,1994:404).
Perilaku pro-sosial menurut Gerungan (1991:63) mencakup perilaku yang menguntungkan orang lain yang mempunyai konsekuensi sosial yang positif sehingga akan menambah kebaikan fisik maupun psikis. Hal ini selaras dengan pendapat William (1981:97) bahwa perilaku pro-sosial merupakan perilaku untuk mengubah keadaan fisik/psikologis orang lain dari kondisi yang kurang menguntungkan menjadi sesuatu yang lebih menguntungkan sehingga penolong akan merasa bahwa penerima menjadi lebih sejahtera/puas secara materiil/ psikologis.
Kesimpulan pengertian perilaku pro-sosial dari uraian di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan individu pada individu lain untuk melakukan tindakan-tindakan yang membawa akibat/konsekuensi positif dari kondisi yang kurang menguntungkan menjadi kondisi yang lebih menguntungkan bagi individu lain yang menjadi pasangan interaksinya sehingga penolong akan merasa penerima menjadi terpenuhi kebutuhannya secara materi/psikologis. Tindakan disini bersifat nyata dan dapat diamati/ diobservasi orang lain.
Inspirasi dari teman: RIsang Pradana
No comments:
Post a Comment